Pemikiran Syaikh Nawawi Al Bantani
Pemikiran Syaikh Nawawi al-Bantani
Habibur Rohman
E97215024
Tasawuf dan Psikoterapi
Pendahuluan
Makkah al-Mukarramah memiliki peran yang sangat penting bagi kehiduapan dan perkembangan Islam di Indonesia. Menurut Snouck Hurgronje, sebagaimana dikutip Deliar Noer, pengaruh Makkah di Indonesia berasal dari Abad ke 18 M, sedangkan sebelum Islam di daerah kepulauan tersebut mendapat inspirasi-inspirasi ajarannya dari India. Indikasi ini berdasar munculnya koloni Jawa atau masyarakat jawi, yaitu daerah tempat tinggal orang-orang Indonesia di Makkah, Awalnya mereka belajar, namun kemudian tidak sendikit yang menjadi ulama kenamaan. Mereka mengajar, mengarang kitab, dicetak dan karyanya tersebar di berbagai negara, terutama di Indonesia.
Namun, dari sekian banyak hasil studi Islam, terutama penggalian kembali khazanah intelektual Islam, tanpa kekurangseimbangan kawasan dunia Islam yang dikaji. Para orientalis tampaknya lebih banyak memperhatikan kawasan Arab, Iran, Turki dan Afrika. Masih terlampau sedikit tulisan dan studi tentang Islam di kawasan budaya Melayu (Malaysia, Indonesia dan Filipina Selatan), padahal penduduk muslim di kawasan ini merupakan salah satu konsentrasi penganut Islam terbesar di dunia. Akibatnya Islam dan khazanah intelektual di kawasan ini kurang di kenal. Padahal jika mau diteliti, sebenarnya banyak sekali aspek studi yang menarik tentang Islam di Indonesia, terutama karya-karya ulama dan pemikir Islam tentang fiqih, tafsir, tasawuf, pemerintahan, kesenian dan lain sebagainya, baik yang sudah maupun yang belum bersentuhan dengan barat modern.
Dalam kaitan ini, Syaikh Nawawi al-Bantani yang lebih di kenal dengan Imam Nawawi, dapat dikategorikan sebagai seorang ulama yang paling pantas memperoleh perhatian besar dalam usaha penggalian kembali warisan intelektual Islam Indonesia. Imam Nawawi al-bantani lahir di kampung Tanara Serang Banten pada tahun 1230 H/1815 M dan di makamkan di Ma’la. Nama lengkap beliau adalah Abû Abd al-Mu’fî Muhammad bin ‘Umar al- Tanâra al-Jâwî al-Bantanî. Ulama yang menjadi gurunya diantaranya, Syaikh Khatib Sambas, Syaikh Abd al-Gani Bima, keduanya dari Indonesia. Imam Nawawi juga belajar kepada Syaikh Ahmad Dimyati, pengajar di Masjidil Haram. Guru yang sangat berpengaruh adalah yang dari mesir, yaitu Syaikh Yusuf Sumbulawainiy dan Syaikh Ahmad al-Nahrawiy, di samping Syaikh ‘Abd al-Hamid al-Dagistaniy yang ia ikuti pelajarannya sampai wafat. Sedangkan di Madinah, ia belajar kepada Syaikh Khatib Duna al-Habali, kemudian melanjutkan ke Mesir dan Syiria untuk belajar kepada para ulama yang ada disana. Dengan bimbingan para ulama di Makkah, Madinah serta rihlah Ilmiyyah¬-nya ke Mesir dan Syiria inilah, ia memiliki pembendaharaaan ilmu pengetahuan keagamaan yang memadai untuk menjadi pengajar di lingkungan Masjidil Haram.
Imam Nawawi adalah sosok yang cerdas, arif, kreatif dan sangat produktif. Karya-karyanya meliputi berbagai bidang keilmuan, teologi, fikih, tasawuf dan tafsir. Semua karangan Imam Nawawi mepergunakan Bahasa Arab sebagai Bahasa pengantarnya, sehingga pada waktu itu dapat dicetak di Mesir dan Makkah, kemudian beredar di dunia Islam, terutama di negara-negara yang menganut mazhab Syafi’i. Sedangkan jumlah kitab yang menjadi karyanya, para peneliti memberikan kesimpulan yang berbeda. C Snouck Hurgronje menyebutkan kurang lebih 20 buah, Zamakhasyari Dhofier menyebutkan, berdasarkan penelitian Sarkis, sebanyak 38 buah, Sirajuddin Abbas berjumlah 34 buah, , sedangkan menurut Rafi’uddin Ramli dan Muhammad Fakhri karya tulis Imam Nawawi mencapai 46 buah. Sehingga Imam Nawawi di beri gelar al-Imâm al-Muhaqqiq wa al-Fahhâmah al-Mudaqqiq, atau Sayyid ‘Ulamâ al-Hijâz, ia termasuk ulama besar abad XIV H/XIX M, fuqahâ’ dan hukamâ’ muta’akhkhirin, dan maha guru pada Nasyr al-Ma’ârif Dîniyyah di Makkah.
Syariat, Tarekat, Hakikat, Maqâmat dan al-Ahwâl
Syariat dalam pandangan Syaikh Nawawi adalah menjalankan segala perintah Allah dan meninggalkan segala hal yang menjadi larangan-Nya. Dalam menjalankan syariat al-Qur’an dan as-sunnah adalah landasan utama yang harus dipegang teguh. Adapun ilmu syariat adalah ilmu Fikih. Sedangkan Tarekat menurut Syaikh Nawawi pendalaman pelaksanaan syariat dengan mengikuti sunnah-sunnah Nabi dan mengamalkannya dalam kehidupan serta menghiasi diri dengan akhlak yang mulia. Bentuk implementasi dari tarekat adalah riyadhah (latihan batin/spiritual), seperti meminimalisir jumlah makan, minum dan tidur, menghindari berlebihan dalam perkara yang mubah, serta memaksimalkan pelaksanaan ibadah sunnah dan dzikir. Apabila seseorang telah mengimplementasikan ajaran syariat dan tarekat dengan benar dan penuh kesungguhan, maka ia akan sampai pada Hakikat.
Menurut Syaikh Nawawi, Hakikat merupakan buah dari implementasi Tarekat. Seseorang yang sampai pada tingkatan Hakikat akan mampu memahami secara mendalam makna dari segala sesuatu, seperti menyingkap rahasia-rahasia al-Qur’an, rahasia-rahasia Pencipta dan ciptaan-Nya, dan mengetauhi ilmu gaib yang hanya diperoleh langsung dari Allah atau yang biasa disebut ilmu Ladunni. Tidak boleh ada kesenjangan antara Syariat, Tarekat dan Hakikat. Beliau mengibaratkan Syariat laksana seperti perahu, Tarekat umpama lautan dan Hakikat adalah mutiara yang tersembunyi. Jika seseorang hendak mencari mutiara, maka ia harus mengendarai perahu terlebih dahulu. Kemudian ia harus menyelam ke dalam lautan, sehingga ia mampu mendapatkan mutiara yang diinginkan.
Dalam persepsi Syaikh Nawawi al-Bantani, antara ketiga hal tersebut ada keterkaitan yang erat sekali. Bagi setiap muslim yang sudah mukalaf (yang pantas dibebani hukum), dalam melakukan ibadah kepada Allah semestinya tidak hanya menitikberatkan dari segi syariah saja, tetapi juga menekankan segi tarekat dan hakikatnya. Oleh karena itu, implikasi dari ibadah itu ada tiga hal, yaitu: manusia harus mengerjakan ibadahnya sesuai yang telah ditentukan oleh syariat, dan ia harus mengerjakan seperti yang pertama dan harus dengan mukasyafah (tesingkapnya dinding pembatas antara Tuhan dan manusia melalui perjuangan rohani), disamping itu mereka juga harus dengan murâqabah (yakin sepenuh hati, bahwa Allah selalu melihat dan mengawasinya).
Begitulah maka, jalan tarekat dan hakikat itu tidak akan berhasil dilalui oleh setiap orang Islam tanpa terlebih dahulu ia melewati jalan syariat. Oleh karena itu, wajib bagi setiap orang Islam untuk menghiasi anggota-anggota tubuhnya dengan menjalani syariat secara sungguh-sungguh, supaya hati menjadi bercahaya, mampu menduduki tempat yang tinggi lagi mulia, dan akhirnya ia mampu masuk ke dalam pintu-pintu mujahadah. Sesungguhnya, apabila seorang muslim telah mampu menjalankan syariat yang berat-berat dengan perasaan yang ringan dan mudah, maka artinya hatinya telah menjadi bersih, sehingga—bisa dikatakan—ia telah sampai ke jalan hakikat dengan derajat seorang wali. Mengenai hal ini, Syaikh Nawawi berkata:
“Akan tetapi, jika ia telah sampai derajat tersebut, bukan berarti ia bebas menjalani apa saja sekehendak hatinya tanpa menghiraukan lagi hukum-hukum syariat, dengan alasan ia telah sampai kepada hakikat. Apabila hal itu benar-benar ia jalani, maka ia berhak dicap sebagai golongan orang yang tersesat dan disesatkan. Bagaimanapun—tingginya hakikat dapat diraih seseorang—ajaran Islam tetap tidak bisa mentolelir terhadap orang yang tidak mau menjalani syariat, karena Nabi Muhammad SAW sendiri yang memiliki kedudukan spiritual tertinggi diantara seluruh Nabi dan Rasulpun dalam kenyataannya tidak pernah meninggalkan ibadah secara lahiriah kepada Allah SWT.
Senada dengan Syaikh Nawawi, Syeikh ‘Abdul Qadir ‘Isa al-Halaby menggambakan hubungan antara Syariat dan Hakikat sebagaimana jasad dan ruh. Ketiadaan penghayatan dan rasa diawasi oleh Allah dalam pengamalan suatu ibadah laksana jasad tidak memiliki ruh, tidak bersenyawa dan bersinergi. Seorang mukmin yang sempurna adalah yang menggabungkan antara Syariat dan Hakikat. Dari Syariat menuju Hakikat ada sebuah jalan (Tarekat) yang harus dilalui. Menurut al-Jurjaniy, yang disebut Tarekat adalah jalan khusus yang harus ditempuh para pencari Allah dengan cara meninggalkan kedudukan dan menempa diri dalam maqamat. Sementara Dr. Mustafa Zahri, memaknai Tarekat adalah suatu system dalam rangka latihan jiwa, membersihkan diri dari segala sifat terceladan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji dan memperbanyak dzikir dengan penuh keikhlasan semata-mata untuk mengenal dan merasakan adanya Tuhan, hingga seseorang dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya.
Syaikh Nawawi adalah penganut tarekat Qodiriyah. Ia berkata: “Qodiriyah adalah tarekat saya”. Sedangkan kepada murid-muridnya, beliau hanya memberkan penjelasan tentang karya-karya ahli tasawuf, yang darinya unsur-unsur etika lebih dipentingkan daripada aspek-asoek tasawuf yang ghaib. Demikian pula Syaikh Nawawi tidak menganjurkan kepada mereka untuk memasuki kelompok tarekat atau menghalanginya. Secara garis besar ia menegaskan, bahwa tarekat yang benar ialah yang tetap berpegang teguh kepada syariat. Sebagaimana pernyataanya dalam menjawab polemik dengan Sayyid Usman seorang ulama keturunan Arab di Jawa yang menentang keras praktek tarekat—bahwa orang-orang yang mengambil tarekat, jika dalam perkataan dan perbuatan mereka benar, mufakat dengan syariat Nabi Muhammad SAW, sebagaimana ahli tasawuf yang benar, maka itu maqbul (diterima).
Dengan demikian dapat dimaknai bahwa Syariat merupakan asas, Tarekat sebagai perantara penghubung menuju hasil atau buah yang disebut Hakikat. Seseorang yang berpegang teguh pada Syariat, maka dia tengah berjalan pada Tarekat yang akan menuju Hakikat. Imam malik pernah berkata: “Barangsiapa yang bertasawuf (Tarekat) tetapi tidak mengamalkan fikih (Syariat) maka dia telah zindiq. Barangsiapa yang mengamalkan fiqih (Syariat) tapi tanpa bertasawuf (Tarekat) maka dia adalah fasiq. Dan barangsiapa yang mengamalkan keduanya, maka dia adalah telah berhakikat (menemukan kebenaran)”.
Imam Syaikh Abu Nasr al-Tusi mengungkapkan bahwa: apabila mengatakan, apa arti maqâmat (kedudukan)? Al-Tusi berkata: maknanya adalah kedudukan seorang hamba yang terdapat diantara kekuasaan Allah SWT. Yang mana terdapat di dalamnya ibadah-ibadah, mujahadah-mujahadah. Adapun maqâmât itu, misalnya: taubat, wara’, zuhud, fakir, sabra, ridha, tawakal dan lain sebagainya, sedangkan makna al-ahwâl adalah apa yang terjadi dalam hati atau keadaan pada hati itu sendiri yaitu berupa zikir-zikir. Imam al-Sahrûrdî menjelaskan tentang perbendaan antara al-maqâm dan al-hâl dalam kitabnya ‘Awarif al-Ma’arif, yaitu: “terdapat banyak kemiripan antara al-hâl dan al-maqâm, para ulama berbeda pendapat tentang hal ini, dan keduanya terdapat kemiripan, yang mana setiap kemiripan antar keduanya, masing-masing terjadi pada keduanya, yaitu pada al-hâl dan al-maqâm, maka manusia akan melihat sebagian dari sesuatu itu adalah hâl, yang lain juga akan melihat sebagian maqâm, dan kedua pendapat tersebut sahih”.
Dan mau tidak mau bagi yang menyebutnya secara jelas ada perbedaan diantara keduanya, lafaz dan ibarat atas keduanya juga terdapat perbedaan, maka al-hâl disebut hal untuk mengusahakannya dan al-maqâm untuk mempertegas keadannya, dan sesuatu itu dapat dilihat dengan melalui hâl lalu beralih ke maqâm, misalnya dalam batin seseorang ada ajakan untuk muhâsabah (intropeksi diri) lalu ajakan itu beralih menjadi berbagai sifat dalam diri seorang tesebut, lalu kembali beralih, maka seorang tidak dapat ber-muhâsabah, dan hal itu menjadi sifat yang nyata pada seseorang hingga tercapai perlindungan dari Allah SWT.
Sembilan Wasiat untuk menjadi Wali, Kekasih Allah dan Pendidikan Tasawuf
Bertasawuf pada dasarnya merupakan upaya yang dilakukan oleh setiap muslim yang berkeinginan kuat mendekati Tuhannya, dengan berbagai macam cara yang ditempuh sesuai dengan keyakinan, kemampuan, dan kapasitas keilmuan yang dimilikinya agar menjadi kekasih-Nya. Dalam ilmu Tasawuf, terdapat istilah maqamat yang berarti jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat kepada Allah. Adapun jumlah maqamat berbeda-beda pendapat, menurut Muhammad al-Kalabadzy ada sepuluh, yaitu taubah, zuhud, sabar, faqr (miskin), tawadlu’, taqwa, tawakkal, ridha, mahabbah (cinta), dan ma’rifah. Sedangkan menurut al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin mengatakan bahwa maqamat terdiri dari delapan perkara, yaitu taubah, sabar, faqr (miskin), zuhud, tawakkal, mahabbah (cinta), ma’rifah dan ridha. Sementara Syaikh Nawawi menjelaskan sembilan hal yang terurai sebagai berikut:
Tingkatan pertama adalah “taubat”. Menurut Imam al-Qusyairî: “Tingkatan pertama sâlikîn dan maqâm pertama dari maqâmât al-tâlibîn, dan hakikat taubat secara bahasa, yaitu: al-raja’a (kembali) dikatakan tâb (taubat) atau raja’a (kembali), maka secara istilah taubat adalah kembali terhadap apa yang tercela menurut syar’î kepada apa yang terpuji padanya. Syaikh Nawawi berkata dalam tafsirnya: “Bertaubatlah dengan sebaik-baiknya dikarenakan dosa-dosa mereka, yaitu dengan menyesali segala perbuatan yang lalu dengan tekad bulat untuk meninggalkan atau tidak melakukannya diwaktu yang akan datang, maka inilah yang dimaksud dengan hakikat taubat. Dan jika beristigfar hanya melalui secara lisan, tidak akan berpengaruh untuk menghapus dosa, akan tetapi wajib merealisasikan tujuan istigfar dengan sebenar-benarnya untuk menghapus segala dosa yang menyebabkan terputusnya hubungan dengan Allah SWT. Dari sini telah jelas bahwa hakikat taubat menurut Syaikh Nawawi tidak berbeda dengan apa yang disebutkan oleh para tokoh-tokoh ahli sufi, yaitu dengan menyesali segala perbuatan yang telah lalu, dan tidak akan mengulangi perbuatan tercela tersebut.
Syaikh Nawawi menegaskan bahwa menuju kekasih-Nya, seseorang seharusnya membersihkan diri dengan menyesali semua kesalahan dan kelalaian yang telah dilakukan, berusaha sekuat tenaga di setiap waktu yang dimilikinya untuk mnghindarkan diri dari perbuatan dosa dan bertekad untuk meninggalkan dosa selama hidup dan untuk mengulangi segala kesalahan, serta selalu membebaskan diri dari segala hak orang lain, seperti harta atau perjanjian.
Taubat berarti “kembali”, yakni kembali dari kemaksiatan kepada Allah SWT. Dengan penuh rasa penyesalan. Kembali yang dimaksud disini menurut Syaikh Nawawi adalah kembali dari suatu yang tercela di dalam ajaran syariat Islam kepada sesuatu tang terpuji, serta mengetauhi dan menyadari bahwa segala dosa maksiat itu dapat menjauhkan diri dari Allah SWT. Penyesalan manusia atas segala dosa yang pernah diperbuat dan berazam tidak akan mengulanginya lagi, jika kedua hal tersebut dilakukan secara konsekuen maka dengan kasih sayang-Nya, Allah SWT akan menerima taubat mereka.
Syaikh Nawawi menerangkan kondisi orang yang diterima taubatnya oleh Allah SWT dengan menjanjikan dua hal, yaitu: pertama, dosanya akan diampuni oleh Allah SWT, sehingga tidak ada dosa yang melekat pada dirinya kecuali janji Allah SWT di akhirat, yakni mendapat derajat yang mulia di sisi Allah SWT, dan di akhirat nantinya akan di masukkan ke dalam surga sebagai ganjaran atas menangnya perjuangan diri sendiri dalam usaha membebaskan dari belenggu hawa nafsu dan bujuk rayu setan. Sebaliknya orang yang tidak melakukan taubat, menurut Syekh Nawawi akan mendapatkan balasan dari Allah SWT, yaitu: pertama, orang-orang yang selama hidupnya berlumuran dengan dosa dan maksiat, jika ia tidak bertaubat maka akhir hidupnya dalam konsisi yang sangat menyedihkan sekali, yaitu meninggal dunia dalam keadaan tidak beriman, sebagaimana yang dialami Fir’aun bersama bala tentaranya yang ditenggelamkan Allah di laut Merah, ketika mengejar Nabi Musa bersama pengikutnya; sebagai janji Allah di akhirat, balasan mereka akan di masukkan ke dalam neraka siksaan yang pedih, sebagai balasan atas mereka selama hidupnya di dunia hanya memperturutkan kehendak hawa nafsu. Proses bertaubat itu sendiri mempersyaratkan beberapa syarat yang mesti ditempuh manusia, yaitu: adanya rasa penyesalan yang mendalam, meninggalkan segala bentuk perbuatan buruk dan maksiat, mereformasi segala bentuk perbuatan buruk dan maksiat, mereformasi diri dengan beralih dari situasi yantuasi yang baik dan lebih buruk menuju ke situasi yang lebih baik.
Semua syarat taubat itu tidak dapat dilakukan manusia dengan baik dan benar, bila tidak disertai dengan ilmu yang telah dilakukan selama ini menjadi jurang pemisah yang sangat jauh antara manusia berdosa dan Allah SWT. Ilmu yang bermanfaat itu dalam pandangan Syaikh Nawawi adalah ilmu yang dapat menambah rasa takut kepada Allah SWT. Dan menambah pengetauhan terhadap keaiban diri, menambah pengetauhan tentang pengabdian terhadap Tuhan, mengurangi kegemaran terhadap dunia, menambah kegemaran terhadap akhirat, dan membuka pengetahuan terhadap perbuatan sia-sia, sehingga seorang dapat terpelihara dari maksiat.
Syaikh Nawawi mengungkapkan bahwa, sesungguhnya taubat yang dapat yaitu diterima, yaitu apabila dengan melakukan empat syarat, yaitu: pertama menjauhkan dari pengaruh untuk melakukan maksiat, kedua menyesali segala perbuatan yang telah lalu, ketiga bertekad bulat untuk meninggalkan maksiat selama-lamanya, keempat senantiasa memperbanyak amal ibadah kepada Allah SWT dengan konsisten melakukan ketiga syarat di atas. Jika taubat diwajibkan dalam Islam, maka wajib pula untuk menyesali segala dosan dan berkomitmen untuk meninggalkan dosa jika berbahaya pada waktu yang akan datang.
Pelajaran yang dapat diambil dari pelajaran taubat adalah bahwa orang yang menderita dapat mengungkapkan perasaan berdosa dan salahnya kepada Allah SWT. Serta memperbaiki kekeliruanyya. Karena orang yang melakukan taubat akan merasakan ketengan batin, merasa pengakuan dosa dan penyesalannya di dengar dan diterima Allah SWT, Serta memperoleh ampunan dan kasih sayang-Nya. Hal ini dapat dicapai apabila seseorang yang melakukan taubat kepada Allah SWT, dengan taubat nasûhah dan menjadikan taubat sebagai pengobatan. Setiap kali bertaubat, berarti setiap kali itu pula ia membina dirinya dengan kelezatan batin. Semakin sering orang bertaubat semakin bersih hatinya dari rasa berdosa, bersalah, kelalaian dan akan tenang dan tenteram jiwanya, serta semakin dekat dirinya dengan Allah SWT.
Tingkatan kedua adalah “qana’ah”. Belum cukup hanya menyesali dosanya, seseorang harus engan kerelaan hati menerima segala pemberian Allah dan rela meninggalkan perkara yang bukan prioritas, meski diperbolehkan dan tidak ddilarang oleh Syariat, tetapi jika tidak sangat penting tidak dilakukan. Sikap seperti ini disebut qana’ah, dan hanya mengupayakan perkara yang sifatnya prioritas dan berkaitan dengan kebutuhan akhirat, serta meninggalkan perkara yang hanya bersifat duniawi dan tidak menjadi kebutuhan akhirat.
Tingkatan ketiga adalah “zuhud”. Menurut Syaikh Nawawi yaitu mengosongkan hati dari keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang melebihi kadarnya dalam kebutuhan duniawi, menghindarkan hati dari sikap terlalu percaya kepada manusia, dan apabila kaya, maka ia harus ingat bahwa harta tersebut milik Allah dan hanya barang titipan yang sewaktu-waktu Ia ambil kembali. Oleh karenanya, harta tersebut harus dipergunakan sesuai dengan tuntunan syariah dan untuk kemaslahatan.
Tingkatan keempat adalah “mempelajari ilmu Syari’at”. Ilmu Syari’at yang dimaksud oleh Syaikh Nawawi, ada tiga macam yang wajib dipelajari, yaitu: pertama, Ilmu yang memperbaiki ketaatan kepada Allah seperti ilmu tentang wudhu, shalat, zakat, haji. Pengetauhan tentang ilmu-ilmu ini terdapat dalam lingkupan ilmu fiqih. Kedua, Ilmu yang dapat memperbaiki akidah, keimanan, sehingga terhindar dari perilaku yang menyimpang, dan ilmu tersebut mampu menghilangkan keraguan di hati. Ilmu tersebut berupa ilmu Aqidah atau Tauhid. Ketiga, Ilmu yang dapagt membersihkan hati dari akhlak dan perilaku yang buruk, seperti sombong, dengki, riya’ dan penyakit hati lainnya. Ilmu tersebut yaitu ilmu Tasawuf.
Tingkatan kelima adalah “melaksanakan perkara-perkara sunnah”. Maksudnya adalah dengan senantiasa melaksanakan amalan-amalan sunnah dalam ibadah seperti sholat rawatib, puasa dan amalan sunnah berupa budi pekerti luhur. Budi pekerti atau adab terbagi menjadi empat, yaitu: Adab Syar’i, maksudnya adalah menjalankan setiap perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Adab Thabi’i (karakter), seperti sifat dermawan dan pemberani. Adab Kasbi (diperoleh dengan usaha), seperti memahami ilmu nahwu, bahasa, dan ilmu-ilmu terapan. Adab Sufi (budi pekerti yang berdasarkan Tasawuf), yaitu menjaga panca indera dan menjaga perilaku di setiap hembusan nafas.
Tingkatan keenam adalah “tawakal”. Tawakal bukan berarti hanya berdiam diri tanpa usaha, namun usaha (kasb) merupkan bentuk tawakal. Tawakal adalah sikap berserah diri kepada Allah dalam segala hal, dan tidak berkeinginan untuk memiliki lebih dari kadar yang sudah ditentukan, setelah melakukan berbagai upaya yang dilakukan secara maksimal.
Tingkatan ketujuh adalah “ikhlas”. Ikhlas adalah keinginan untuk taat kepada Allah dengan mendekatkan diri kepada-Nya. Dengan menafikan segala sesuatu yang tercipta dari tangan manusia, yaitu menghindari sifat pujian manusia, atau dengan makna yang selaras, yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sebagian ulama sufi tidak melihat keikhlasannya dan tidak bersamanya, olehnya itu Imam Abu Ya’qub al-Susi: “Ketika ikhlas itu menyaksikan dalam keikhlasan mereka butuh keikhlasan mereka ke dalam ikhlas”. Dan Imam al-Junaid Ikhlas merupakan upaya membersihkan amal perbuatan dari sifat ‘ujub (membanggakan diri). Ikhlas terwujud ketika seseorang melakukan semua aktivitasnya hanya diniatkan beribadah kepada Allah tanpa menyekutukannya dan selalu mengedepankan istiqomah dalam beribadah.
Tingkatan kedelapan “uzlah”. Uzlah adalah menjauh atau menghindari berkumpul dengan manusia. Hal ini dilakukan agar terhindar dari keburukan dan pengaruh buruk yang mungkin terdapat pada mereka. Namun, jika berkumpul dengan orang-orang yang baik dan shaleh, maka hal tersebut sangat dianjurkan, karena berharap mendapatkan kebaikan dan pengaruh yang baik dari mereka.
Tingkatan kesembilan adalah “memanfaatkan waktu sebaik mungkin”. Waktu merupakan hal yang sangat berharga dan harus dimanfaatkan sebaik mungkin, serta dibagi dengan sebaik mungkin untuk melaksanakan berbagai ibadah dan berbuat kebaikan seperti mencari ilmu dan menolong sesame makhluk. Menyia-nyiakan waktu yang ada atau menggunakan waktu untuk perbuatan tercela adalah sebuah kerugian besar.
Meskipun pada sembilan wasiat yang Syaikh Nawawi paparkan terdapat beberapa yang berbeda dengan maqamat dua tokoh Tasawuf di atas, namun kesemuanya menggambarkan tujuan yang sama menuju ma’rifat Allah. Semua merupakan deretan panjang yang harus dilalui agar dekat dan menjadi bagian dari kekasih Allah, dan tentu saja semuanya tidak satupun yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Ada atsar sahabat yang menjelaskan delapan tanda orang ma’rifat, yaitu: Hati yang diliputi rasa takut (khauf) kepada Allah, Hati yang diliputi rasa (raja’) kepada Allah. Lisan yang tak pernah luput dari kata berterima kasih kepada Allah (syukur) atas segala nikmat Allah. Lisan yang selalu menyanjung dan memuji Allah (tsana’) dalam segala situasi. Mata yang selalu menyimpan rasa malu (haya’) terhadap Allah. Mata yang selalu menangis (buka’) karena mengingat Allah. Meninggalkan keinginan untuk menikmati indahnya dunia (zuhud). Memiliki keinginan untuk hanya mendapat keridhoan Allah.
Syaikh Nawawi dalam kitabnya, Qami’ al-Tughyan Syarh ‘ala Manzhumah Syu’ab al-Iman, menjelaskan bahwa diantara tujuh puluh tujuh cabang ajaran tentang Iman yang harus diketauhi dan diamalkan adalah tentang akhlak seseorang yang dekat dengan Tuhannya. Dalam Islam ada perintah untuk mencari ilmu (peserta didik) dan menyebarkannya kepada seluruh manusia (pendidik). Syaikh Nawawi menjelaskan bahwa terdapat dua metode untuk memperoleh ilmu, yaitu dengan metode kasbi (usaha) dan sima’i (mendengar). Maksud dari metode kasbi adalah memperoleh ilmu dengan cara istiqomah dalam belajar sendiri dan mengaji kepada ustadz. Adapaun metode sima’I adalah belajar kepada guru dengan cara mendengarkan setiap penjelasannya, baik tentang ilmu agama atau ilmu dunia. Seseorang yang ingin memperoleh ilmu, maka ia harus mencintai ulama’ atau guru dan tidak pernah menjauh dari mereka, sebab merekalah yang memberikan ilmunya kepada setiap manusia.
Dalam mencari ilmu, seseorang harus memliki beberapa niat, yaitu untuk mencari keridhoan Allah semata, untuk menuju akhirat, menghilangkan kebodohan, menghidupkan syariat Islam serta bersyukur atas akal yang dimiliki dan kesehatan badan. Seseorang tidak diperbolehkan mencari ilmu dengan niat yang tidak baik seperti agar diterima atau disanjung masyarakat dan hanya untuk mendapatkan harta duniawi atau kedudukan saja. Ketika telah memperoleh ilmu, meskipun ilmu yang didapat hanya satu kata atau sub bab saja, seseorang diharuskan untuk menyebarkan ilmu tersebut kepada orang lain. Jika tidak, maka ia telah berbuat dosa karena membiarkan kebodohan merajalela.
Syaikh Nawawi juga menjelaskan bahwa seorang yang benar-benar alim memiliki tiga ciri, yaitu tidak mencari harta dunia dengan sebab ilmu yang dimiliki, tujuan kesibukannya dengan ilmu adalah untuk mendapatkan kebahagiaan ukhrawi, sehingga ia lebih sibuk terhadap ilmu yang bersifat batin dan cirri ketida yaitu ilmu yang dimiliki harus selalu bersandar pada ajaran Rasulullah. Adapun cirri-ciri seseorang yang menyebarkan ilmunya bukan hanya karena ingin mendapatkan nikmat dunia semata adalah: Perkataannya selalu sesuai dengan perbuatannya. Artinya, ia selalu menjadi pelaku awal atas ilmu yang diketauhi sebelum menyebarkan kepada orang lain. Menyebarkan ilmu sesuai dengan kadar kemampuannya dan hal tersebut merupakan wujud ketaatan kepada Allah serta menjauhi perdebatan yang tidak bermanfaat. Menhindari kemewahan dalam makanan, tempat tinggal, pakaian, serta kebutuhan dunia. Mengendalikan diri untuk tidak bergaul dengan para penguasa kecuali hanya untuk memberi nasehat atau untuk meredam kedholimannya dan untuk membantunya mendapatkan keridhoan Allah. Tidak tergesa-gesa dalam memberikan fatwa atau pendapat kecuali telah benar-benat memahami masalah yang terjadi. Lebih baik mengatakan “tidak tahu” terlebih dahulu dan mencari jawaban atau pendapat yang tepat dari pada menyesatkan orang lain karena pendapat atau jawaban yang salah.
Corak Tasawuf dalam Kitab Nashâih al-‘Ibâd
Kecenderungan pemikiran tasawuf Syaikh Nawawi al-Bantani (1815-1897 M) di dalam kitab Nashâih al-‘Ibâd, menyampaikan isi beberapa nasehat baik hadis Rasul maupun atsar perkataan para sahabat dan tabi’in yang beliau syarah atau jelaskan isi ajaran tasawuf. Pada Bâb ats-Tsanâ’î Hadis Rasulullah SAW yang berbunyi “Khaslatâni la syala afdhalu minhumâ: al-Îmânu billâhi wa an-Naf’u lilmuslimin” terjemah secara harfiah “dua macam sesuatu yang lebih afdhal daripada keduanya: pertama beriman kepada Allah SWT, kedua bermanfaat bagi setiap muslim lainnya”. Dalam penjelasan bermanfaat bagi setiap muslim yang lain, yaitu dengan tutur kata yang baik, dengan jabatan, harta maupun dengan badannya. Hadis ini mengandung aspek aqidah dan tasawuf akhlaki, karena beriman kepada Allah SWT merupakan bagian dari rukun iman yang utama yang harus diyakini sebagai seorang muslim, sedangkan bersikap dengan tutur kata yang santun serta mampu menggunakan jabatan dan harta untuk kemaslahatan orang banyak.
Perkataan sahabat ‘Utsman bin ‘Affan, “Hammu ad-Dunyâ zhulmatun fi al-Qalbi, wa hammu al-Âkhirati nûrun fi al-Qalbi”. Artinya: Duka cita dunia gelap di dalam hati dan duka cita akhirat cahaya di dalam hati. Penjelasan dari arti perkataan yang disampaikan oleh ‘Utsman bin ‘Affan, Syaikh Nawawi al-Bantani menyampaikan, bahwa duka cita dalam segala urusan yang berhubungan dengan dunia menjadikan gelap dalam dunia dan duka cita dalam segala urusan akhirat akan menjadi cahaya di dalam hati. Perkataan ‘Utsman bin ‘Affan ini mengandung nilai-nilai dari tasawuf amali dengan terminologi Zuhud. Zuhud merupakan maqam yang paling dominan dalam kehidupan para sufi, karena pada umumnya pola hidup mereka cenderung meninggalkan dunia.
Perkataan tabi’in yang disampaikan oleh A’masy, “Man kâna ra’su mâlihi at-Taqwâ kallati al-Alsunu ‘an washfi ribhi dînihi, wa man kâna ra’su mâlihi ad-Dunyâ kallati al-Alsunu ‘an washfi khusrâni dînihi”. Artinya: Barangsiapa yang modal hartanya taqwa maka lebih terasa lelah dari menceritakan keuntungan agamanya, dan barangsiapa modal hartanya untuk dunia terasa lelah dari menceritakan keuntungan kerugian agamanya. Maksud dari perkataan ini Syaikh Nawawi menyampaikan “Barangsiapa yang berpegang pada taqwa dengan menjungjung tinggi perintah Allah SWT dan menjauhi maksiat, dengan berasaskan setiap perbuatan sesuai dengan syariat baginya memperoleh kebaikan yang tidak terbatas, barangsiapa yang berpegang pada segala perbuatan yang bertentangan dengan syariat maka baginya banyak kesalahan yang melemahkan lidah dari menyebut yang demikian itu dengan jumlah kesalahan”. Perkataan Tabi’in yang disampaikan diatas dapat diketauhi mengndung nilai-nilai syari’at dan tasawuf akhlaki, yang mana setiap orang muslim lebih mengutamakan asas ikhlas dalam bertindak melaksanakan kegiatan sehari-hari.
Bâb ats-Tsulâsî
Hadits Rasulullah SAW yang berbunyi, “Man ashbaha wa huwa yasykû dhîqa al-Ma’âsyi fakaannamâ yasykû Rabbahu, wa man ashbaha li umûri ad-Dunyâ hazînan faqad ashbaha sâkhithan ‘allâhu, wa man tawâdha’a li ghaniyyin li ghinâhu faqod dzahaba tsulatsâ dînihi” . Artinya: barangsiapa di pagi hari, dia mengadu kesempitan kehidupan maka seakan-akan ia mengadu kepada Tuhannya, dan barang siapa di pagi hari untuk segala urusan dunia duka cita, maka sungguh ia dipagi hari marah kepada Allah, dan barang siapa merendah diri kepada orang kaya karena kekayaannya, maka ia sungguh hilang sepertiga agamanya.
Maksud dari isi hadits di atas, Syaikh Nawawi menjelaskan di waktu pagi ia sudah mengadu kepada manusia tentang kesempitan hidup, sedangkan mengadu kepada manusia, sama dengan tidak ridha dengan pemberian Allah, sedangkan di pagi hari ia bersedih dengan urusan dunia, maka sungguh ia marah kepada Allah dan tidak ridha dengan ketentuan Allah, sedangkan merendahkan diri kepada orang kaya karena kekayaannya, menurut Syaikh Nawawi kalua dipandang secara syari’at memuliakan manusia karena kesalehan dan ilmunya. Dilihat dari penjelasan Syaikh Nawawi mengenai hadis diatas, mengandung nilai-nilai dari tasawuf amali, karena ajaran tersebut sama dengan maqam ridha. Ridha adalah tidak terguncangnyaa hati seseorang ketika menghadapi musibah dan mampu menghadapi manifestasi takdir dengan hati yang tenang.
Perkataan sahabat ‘Ustman bin ‘Affan, “Man taraka ad-Dunyâ ahabbahullahu ta’alâ wa man taraka adz-dzunûba ahabbahu al-Malâikatu wa man hasama ath-Thama’a ‘ani al-Muslimîna ahabbahu al-Muslimûn”. Artinya: barangsiapa yang meninggalkan dunia niscaya Allah akan mencintai dia, dan barangsiapa meninggalkan dosa-dosa niscaya Malaikat akan mencintai dia, dan barangsiapa memutus ketamakan dari setiap muslim niscaya setiap orang muslim akan mencintainya. Maksud perkataan sahabat ini barangsiapa meninggalkan dunia dengan sedikit kenyang, makan dan tidak suka pujian dari manusia, niscaya Allah mencintainya dengan meninggalkan riya’ dan kemegahan, dan meninggalkan segala dosa maka ia akan dicintai para malaikat karena tidak lelah mencatat keburukan, kemudian barangsiapa memutus sifat tamak dari setiap muslim maka ia akan dicintai kaum muslimin yang lain karena tidak kotor hati mereka. Hal semacam ini mengandung nilai dari tasawuf amali karena pernyataan seperti meninggalkan dunia niscaya Allah mencintainya ini menempati maqam Zuhud.
Perkataan tabi’in Hasan Basri ra. “Man lâ adaba lahu lâ ‘ilma lahu wa man lâ shabra lahu lâ dîna lahu wa man lâ wara’a lahu lâ zulfâ lahu”. Artinya: barangsiapa tidak mempunyai adab (budi pekerti) maka ia tidak mempunyai ilmu, barangsiapa yang tidak sabar maka ia tidak mempunyai agama baginya, dan barangsiapa yang tidak wara’ baginya tidak ada derajat baginya. Maksud perkataan ini barangsiapa yang tidak mempunyai adab di sisi Allah dan makhluk, maka ia dihitung termasuk orang yang tidak mempunyai ilmu, barangsiapa yang tidak sabar atas memikul segala ujian dan disakiti oleh makhluk, meninggalkan segala macam maksiat dan melaksanakan segala perintah,maka ia dihitung termasuk orang yang tidak mempunyai agama, dan barangsiapa yang tidak wara’ dari melakukan hal yang diharamkan dan subhat, maka ia tidak mempunyai martabat dan tidak dekat dengan Allah SWT. Pernyataan tabi’in di atas menjelaskan tentang orang yang tidak beradab atau budi pekerti berarti ia dianggap tidak mempunyai ilmu yang mengandung tasawuf akhlaki, sedangkan orang yang tidak sabar ia dianggap tidak mempunyai agama, sedangkan tidak wara’ sama dengan tidak mempunyai derajat, pernyataan ini mengandung tasawuf amali dengan ajaran sabar dan wara’.
Pada Bâb ar-Rubâ’I Hadits Rasulullah SAW yang berbunyi, “’Alâmatu asy Syaqâwati arba’atum nisyânu adz-Dzunûbi al-Mâdhiyati wa hia ‘indallâhi ta’âlâ mahfûzhatun wa dzikru al-Hasanâti al-Mâdiyati walâ yadrî aqubilat am ruddat, wa nazharuhu ilâ man fawqahu fi ad-Dunyâ wa nazharuhu ilâ man dûnahu fi ad-Dîni. Yaqûlullâhu: arathuhu wa lam yuridnî fataraktuhu”. Artinya: tanda-tanda orang celaka ada empat, pertama melupakan dosa-dosa yang telah lalu dan dosa tersebut tetap tercatat disisi Allah SWT, kedua mengingat perbuatan baik yang telah ia lakukan dan tidak diketauhi apakah diterima atau ditolak, ketiga memandang kepada orang yang memiliki materi harta benda dunia, keempat memandang orang yang lebih sedikit dalam masalah urusan agama.
Maksud hadits di atas, Syaikh Nawawi menjelaskan bahwa tanda orang yang celaka dari melupakan dosa yang telah lalu dengan tanpa adanya rasa penyesalan padahal sesungguhnya dosa yang telah dilakukan masih belum terhapus bilangan dosanya, waktunya dan tempat melakukannya, menyebut-nyebut kebaikan yang telah lalu yaitu dengan hati dan tidak diketauhi apakah diterima kebaikannya atau ditolak. Memandang orang yang lebih dari mata benda dunia, sehingga pandangannya menimbulkan perasaan tidak ridha dengan pemberian Allah, dan pandangan kepada orang yang lebih kurang dengan masalah berbuat amal shaleh dan tidka bersyukur kepada Allah atas nikmat amal ibadah dirinya. Allah berfirman: aku menginginkan dia menghindari dunia dan akau menolong dia atas berbuat taat dan dia tidak mendengarkanku dengan ridha dan syukur, maka aku meninggalkan pertolongan kepadanya. Pernyataan diatas mengandung tasawuf akhlaki karena komentar diatas dalam berbuat sesuatu harus ikhlas, tidak mengagumi orang karna materi duniawi dan tidak melihat orang karena sedikit dalam masalah urusan agama.
Perkataan sahabat Umar bin Khaththab, “lautan itu ada empat, yaitu: Hawa nafsu lautan dosa, nafsu lautan syahwat, kematian lautan bangunan dan kubur lautan penyesalan”. Maksud perkataan lautan itu ada empat macam, hawa nafsu lautan dosa cenderungnya nafsu kepada syahwatnya dengan melanggar hukum syara, nafsu lautan syahwat yaitu nafsu amarah yang cenderung tabiat badanya memerintahkan dengen kelezatan yang terkumpul dari gerakan-gerakan nafsu yang merupakan tempat kejelekan dan sumber akhlak tercela, kematian lautan bangunan yaitu lautan amal dan kuburan lautan penyesalan yakni alam Barzakh perantaraan alam dunia dan akhirat, terkumpul berbagai macam huru-hara. Berharap penghuni kubur tersebut agar tidak terjadi. Ungkapan diatas mengandung nilai tasawuf akhlaki, karena ajaran yang dimaksud dorongan untuk menahan segala hawa nafsu dar melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syari’at.
Politik
Para ulama Banten dengan semangat jihad, semangat anti kafir menjadi motor penggerak dalam berbagai gerakan sosial yang marak pada abad ke-19 M. banten dianggap sebagai salah satu pusat pemberontakan berbahaya, karena paling dekat dengan pusat pemerintahan Hindia-Belanda di Batavia (sekarang Jakarta). Bahkan dalam penelitian Kartodirjo tidak ada satupun wilayah di Bantenyang sepi dari perlawanan rakyat menentang penjajah. Sumber sasaran bukan hanya pemerintah kolonial saja, akan tetapi juga pejabat pribumi yang dianggao sebagai kaki tangan Belanda. Tidak heran dalam abad ini di Banten frekuensi pemberontakan semakin meningkat, puncaknya adalah peristiwa geger cilegon yang dikoordinir oleh KH. Wasid, KH. Tubagus Ismail dan ulama-ulama lainnya. Pada 9 Juli 1888 M, KH. Wasid dan anak buahnya mengadakan pemberontakan memasuki kota Cilegon dari dua arah. Dari selatan dipimpin oleh KH. Tubagus Ismail, sedangkan dari utara dipimpin langsung oleh KH. Wasid. Setelah berhasil membunug para pejabat daerah Belanda dan pejabat pribumi yang dianggap sebagai anteknya, maka KH. Wasid memproklamirkan dirinya sebagai Sultan Banten dan Tubagus Ismail sebagai panglima kesultanan. Meskipun pada akhirnya tanggal 01 Agustus 1888 M, pemberontakan ini dapat segera diredam dengan tewasnya kedua pimpinan pemberontak itu, namun tekad rakyat Banten untuk terus melanjutkan perjuangan dan pemberontakan melawan colonial tidak pernah hilang. Bahkan di malam Idul Fitri pada 1889 M, pemberontakan serupa hamper terjadi jika tidak segera tercium oleh pemerintah kolonial.
Geger Cilegon diyakini oleh semua pihak yang ikut terlibat dianggap sebagai bentuk jihad fi sabilillah, memunculkan beragam tanggapan dari sebagian ulama, salah satunya Sayid Usman bin Yahya, mufti Betawi. Dalam karyanya Minhajul Istiqamah ia mengatakan, kerusuhan di Cilegon tidak termasuk jihad, bahkan melanggar agama karena selain membahayakan diri sendiri, juga membuat efek negatif kepada yang lain. Sayid Usman menganggap belum terdapat syarat untuk melakukan perang sabil melawan kolonial Belanda. Fatwa ini bisa lebih difahami dari pernyataan surat Snouck Hurgronje, yang dikirim kepada Gubernur Jendral Hindia-Belanda, ia melukiskan penderitaan rakyat Banten:
Ketika itu pun dengan kuat saya merasa bahwa kekerasan yang tidak pantas, yang digunakan oleh kaum militer dalam menangani dan sering menganiaya semua pihak tanpa perbedaan sesudah huru-hara Cilegon di Banten, dapat dianggap sebagai akibat yang biasa dari pemberontakan, dan lambat laun akan terlupakan. Lebih lanjut ia mengakatan: Kini daerah Banten masih berada dalam kurun zaman kegugupan dan ketakutan yang dimulai sesudah pemadaman huru-hara di Cilegon.
Selain Sayid Usman, ternyata Syaikh Nawawi ulama asal Banten yang paling dihormati mengemukakan pendapatnya, sebagaimana disampaikan Snouck Hurgronje dalam dokumentasi surat-menyuratnya, dia mengatakan:
Saya dijamin bahwa ia bahkan telah memberi pernyataan atas permintaan yang diterimanya dari Banten, bahwa orang-orang Banten yang tewas dalam pertempuran baru-baru ini, oleh syariat suci sama sekali tidak boleh dianggap sebagai syuhada. Sebaliknya mereka dianggap sebagai oknum-oknum yang telah membinasakan diri. Namun bagaimanapun Nawawi itu terlalu bijaksana untuk sedikit mencampuri gerakan-gerakan seperti di Cilegon. Lagu pula ia terlalu bersifat ulama ortodoks untuk membenarkan kejadian-kejadian seperti di Cilegon.
Sikap Syaikh Nawawi yang tidak membenarkan Gege Cilegon tentu tidak menyurutkan rakyat Banten untuk melanjutkan aksi-aksi pemberontakannya. Mereka menganggap Syaikh Nawawi akan merestuo aksi-aksi mereka karena beberapa motor penggerak pemberontakan adalah orang-orang yang pernah belajar dengan Syaikh Nawawi. Seperti KH. Wasid, KH. Arsyad Thowil dan KH. Aryad Qasir. Bahkan disinyalir kebesaran nama Syaikh Nawawi ternyata dijadikan alat oleh para pemberontak Geger Cilegon dengan dihembuskan desas-desus kepulangannya ke Banten, bahkan demi menghasut kemarahan masa untuk kepentingan mobilisasi pemberontakan, ulama ini diisukan juga telah dibunuh atas perintah pemerintah Hindia-Belanda. Hal ini dapat ditemukan di dalam surat yang sama dari Hurgronje, ia mengatakan:
Berkenaan dengan ulama Nawawi dari Banten yang telah menetap di Makkah. Pemberitahuan seolah-seolah Syaikh tersebut dibunuh, saya ragukan dengan sangat kuat sekali. Sebab desas-desus fakta seperti itu akan cepat berjalan dari mulut ke mulut melalui daerah-daerah Mohammadan di Hindia-Belanda. Sementara itu, saya sendiri tidak berhasil untuk sekedar memancing pengetahuan tentang desas-desus itu, meskipun dengan berbagai macam pelacakan, bahkan pada orang-orang yang secara teratur mengadakan surat-menyurat dengan Nawawi… andaikan beberapa pemberontak telah menggunakan namanya yang dihormati dimana-mana untuk memamerkannya dan menggambarkan kedatangannya sebentar lagi ke banten, maka mereka telah berbuat begitu tanpa hak sedikitpun.
Ketidaksetujuan Syaikh Nawawi atas peristiwa Geger Cilegon, sebagaimana dikutip dari Hurgronje, tentu saja alasan utamanya adalah sebagai bentuk bunuh diri. Syarat utama yang paling menentukan untuk konfrontasi dalam jihad fi sabilillah menurut Syaikh Nawawi adalah al-Thaqah ‘Ala al-Qital, atau kesiapan memobilisasi perang, seperti tersedianya persenjataan atau perlengkapan perang lainnya. Jika tidak, maka statusnya sama dengan orang yang tidak memiliki tangan, karena secara substantive sama dalam ketidakmampuan membunuh musuh, bahkan sebaliknya menyerahkan diri untuk dibunuh musuh. Menurutnya, ketika kondisi tidak memungkinkan berkonfrontasi, maka solusi terbaik adalah berdamai dengan musuh.
Pada abad ke-19 M, dimana Syaikh Nawawi hidup sampai wafatnya secara umum Banten sudah dapat dikuasai dan dikontrol oleh pemerintah Hindia-Belanda. Eksistensi simbol kesultanan Banten yang merdeka tidak pernah kembali setelah pada tahun 1832 M, Muhammad Rafiuddin sultan terkahir yang naik tahta, diasingkan ke Surabaya sebagai hukuman karena dituduh berkomplot dengan bajak laut. Setelah itu, perlawanan dan pemberontakan terhadap colonial sering terjadi yang dipimpin oleh ulama, namun dengaan bekal persenjataan yang lebih lengkap dengan mudah pula pemerintaah colonial mampu memadamkannya, juga menangkap para pemimpin, bahkan rakyat yang tidak terlibatpun sering menjadi sasaran empuk senjata kolonial.
Sangat logis ketika Syaikh Nawawi yang hidup pada abad ini mengemukakan pendapatnyaa tentang salah satu syarat terpenting dalam aksi Jihad itu adalah tersedianya logistic persenjataan. Ketika yang satu ini tidak ada, kewajiban jihadpun gugur sama sekali. Meskipun konfrontasi tetap dipaksakan, maka tepa tapa yang diungkapkan Syaikh Nawawi bahwa itu adalah bunuh diri. Atau istilah lain dari Sayid Usman membahayakan diri sendiri dan orang lain, karena berakhir pada tindakan refresif membabi buta militer Belanda terhadap rakyat yang akan semakin menambah penderitaannya.
Pilihan yang paling mungkin ketika satu wilayah dikuasai sepenuhnya oleh musuh, sedangkan penduduknya sudah tidak mampu melakukan perlawanan berarti, maka tawaran paling baik menurut Nawawi adalah al-Istislam (berdamai), yaitu sikap kooperatif dengan pihak penguasa dengan cara; taat pada semua aturan selama itu masih dianggap legal oleh Syara’ yang diberlakukan pemerintah berkuasa (Ulil Amri). Tawaran ini mudah dipahami, karena menurutnya tujuan utama Jihad adalah ¬Li Iqamati al-Din, artinya terlaksananya kemudahan dalam mengamalkan ajaran agama. Jadi yang dilihat bukan siapa yang berkuasa, orang kafir atau muslim. Selama pengamalan ajaran agama tidak dipasung oleh pemerintah, meskipun orang kafir, maka rakyat tidak perlu melakukan jihad fi sabilillah.
Meskipun pada abad ke-19 M Banten benar-benar sepenuhnya berada dalan genggaman kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda yang Bergama Kristen, namun sejarah tidak banyak mencatat tentang terjadinya pemasungan dalam pengamalan agama. Bahkan jamaah haji dari Nusantara, setelah dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 M mencapai ribuan, meskipun selalu dalam pengawasan ketat kolonial, tetapi sebagian besarnya berasal dari koloni Banten. Kenyataan ini dikarenakan secara prinsip teori undang-undang belanda menerapkan sistem politik kebebasan menjalankan agama, meskipun reakitasnya penganut agama Kristen lebih banyak kemudahan dalam menikmati fasilitas dari pemerintah Hindia-Belanda, baik yang berbangsa Eropa maupun Bumi Putera.
Kesimpulan
Pemikiran tasawuf Syaikh Nawawi al-bantani menggambarkan sebuah keniscayaan bagi seorang muslim untuk mengintegrasikan syariat, tarekat dan hakikat. Syariat berarti menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, arekat menyelami lebih dalam atas syariat melalui aktifitas sunnah, amal baik, dzikir, riyadlah dan semua aktivitas lahiriah dan batiniah yang dapat mengantarkan seseorang menuju hakikat dirinya dan Tuhannya, Allah. Proses integrasi tersebut dapat terwujud melalui penanaman tujuh sifat dasar, antara lain: qana’ah (menerima apa yang ada) pandai bersyukur, mali, ikhlas, tawakkal, sederhana dan adil. Setelah tujuh sifat tersebut tertanam dalam pribadi seseorang, selanjutnyaa dilakukan pembiasaan sebelas sikap bertasawuf, yaitu: mengakui kesalahan dan berjanji tidak mengulanginya lagi, merasa takut kepada Allah dan selalu berharap rahmatnya, merasa mali jika tidak memenuhi kewajiban, bersedih bahkan menangis jika jauh dari Allah, merasa cukup dengan hidup sederhana meski harta berlimpah, berbagi dan berkorban untuk sesamanya, rajin beribadah wajib dan sunnah, serta berbuat baik kepada sesame, rela atas semua yang Allah gariskan dalam hidupnya, menjaga kesucian diri melalui wudhu, menyendiri dari pengaruh jelek dan berjamaah dengan orang-orang shalih, bersujud dan bedialog dengan Allah di tengah malam.
Syaikh Nawawi juga merupakan seorang ulama besar yang mempunyai peranan penting dalam perjuangan dan berbagai pergerakan baik dalam bidang keagamaan, maupun politik ditanah air. Dalam menghadapi kolonialisme Belanda sikap neliau cukup moderat, karena ia lebih mengutamakan pendekatan persuasive dan kooperatif dengan pemerintah Belanda dalam bentuk Istislam sebatas pada persoalan-persoalan yang tidak bertentangan dengan Syara’. Syaikh Nawawi ketika itu tidak memberikan instruksi jihad fi sabilillah selama rakyat masih bebas melaksanakan ajaran-ajaran agama, karena tujuan utama Jihad adalah li iqamati al-din. Namun, yang perlu dicermati dari sikap beliau dalam bentuk Istislam ini tidak lain karena secara keseluruhan Banten khususnya, dan Nusantara pada umumnya sudah berada dalam genggaman kekuasaan Belanda.
Daftar Pustaka
Noer, Deliar. 1982. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
Dhofier, Zamakhasyari. 1983. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES.
Ali, A. Mukti. 1971. Alam Pikiran Islam Modern di Indonesia. Yogyakarta: Nida.
al-Bantani, Muhammad Nawawi. t.t. Nihâyah al-Ziyân fi Irsdyâd al-Mubtadi’în. Bandung: al-Ma’arif.
Hurgronje, C Snouck. 1931. Mekka in the Letter Part of the Nineteenth Century, (Leiden: Brill, 1931),
Dhofier, Zamakhasyari. 1982. Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.
Abbas, Sirajuddin. 1975. Ulama Syafi’i dan Kitab-kitabnya dari Abad ke Abad. Jakarta: Pustaka Tarbiyah.
Ramli, Rafi’uddin, Muhammad Fakhri. 1399 H Sejarah Hidup dan Silsilah Kyai Muhammad Nawawi Tanara. Tangerang: Cirumpek-Keronjo.
Departemen Agama RI. 1987. Ensiklopedi Islam. Jakarta: CV Rafindo.
al-Bantani, Muhammad Nawawi. 2001. Salalim al-Fudhala Syarh Manzhumat Hidayah al-Azkiya’, (Surabaya: al-Haramain, 2001
al-Bantani, Muhammad Nawawi. t.t. Kâsyifah as-Sajâ’. Jakarta: al-Munawwir.
al-Bantani, Muhammad Nawawi. t.t. Salâlim al-Fudalâ. dalam: Dimyati. Kifâyah al-Atqiyâ’ wa Minhâj al-Asfiyâ’. Bandung: al-Ma’arif.
al-Halaby, Abdul Qadir ‘Isa. t.t. Haqa’iq ‘an al-Tashawwuf.
Rahimuddin, Abu Muhammad. 2009. Madkhal ila al-Tasawwuf al-Shahih al-Islami. Kairo: Ummu Qura,
Nata, Abuddin. 2006. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
al-Bantani, Muhammad Nawawi. t.t. Bahjah al-Wasail. Surabaya: Nur Asia.
Sirâj, Abû Nasr. 1960. al-Luma’. Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîs.
Hafs, Abu. t.t. ‘Awârif al-Ma’ârif.
al-Kalabadzi. t.t. al-Ta’aruf li Madzhab Ahl al-Tasawwuf. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
al-Qusyairî, Abu al-Qâsim. t.t. RIsalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilmi al-Tasawwuf.
al-Bantani, Muhammad Nawawi. t.t Tafsîr al-Munîr li Ma’alim al-Tanzîl. Jilid I.
al-Ghazali, Abu Hamid. 2005. Ihya’ Ulum ad-Din. Kairo: Dar al-Bayan al-‘Arabi.
al-Bantani, Muhammad Nawawi. 2010. Nashâih al-‘Ibâd. Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah.
Suryadilaga, M Alfatih. 2008. Miftahus Sufi. Yogyakarta: Teras.
Zaprulkhan. 2006. Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik. Jakarta: Raja Grafindo.
Michrob, Halwani. 1993. Catatan Masalalu Banten. cet III. Serang: Penerbit Saudara.
Lubis, Nina H. 2004. Banten Dalam Pergumulan Sejarah. Jakarta: LP3ES.
Steenbrink, Karel A. 1984. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 M. Jakarta: Bulan Bintang.
Gobee, E. 1995. Nasehat-nasehat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hinda Belanda 1889-1936 M. Jakarta: INIS XI.
al-Bantani, Muhammad Nawawi. t.t. Tawsikh ibn Qasim Qut al-Habib al-Gharib. Surabaya: Bengkul Indah.
al-Bantani, Muhammad Nawawi. t.t. Tawsyaikh ibn Qasim al-Ghuzzi.
Habibur Rohman
E97215024
Tasawuf dan Psikoterapi
Pendahuluan
Makkah al-Mukarramah memiliki peran yang sangat penting bagi kehiduapan dan perkembangan Islam di Indonesia. Menurut Snouck Hurgronje, sebagaimana dikutip Deliar Noer, pengaruh Makkah di Indonesia berasal dari Abad ke 18 M, sedangkan sebelum Islam di daerah kepulauan tersebut mendapat inspirasi-inspirasi ajarannya dari India. Indikasi ini berdasar munculnya koloni Jawa atau masyarakat jawi, yaitu daerah tempat tinggal orang-orang Indonesia di Makkah, Awalnya mereka belajar, namun kemudian tidak sendikit yang menjadi ulama kenamaan. Mereka mengajar, mengarang kitab, dicetak dan karyanya tersebar di berbagai negara, terutama di Indonesia.
Namun, dari sekian banyak hasil studi Islam, terutama penggalian kembali khazanah intelektual Islam, tanpa kekurangseimbangan kawasan dunia Islam yang dikaji. Para orientalis tampaknya lebih banyak memperhatikan kawasan Arab, Iran, Turki dan Afrika. Masih terlampau sedikit tulisan dan studi tentang Islam di kawasan budaya Melayu (Malaysia, Indonesia dan Filipina Selatan), padahal penduduk muslim di kawasan ini merupakan salah satu konsentrasi penganut Islam terbesar di dunia. Akibatnya Islam dan khazanah intelektual di kawasan ini kurang di kenal. Padahal jika mau diteliti, sebenarnya banyak sekali aspek studi yang menarik tentang Islam di Indonesia, terutama karya-karya ulama dan pemikir Islam tentang fiqih, tafsir, tasawuf, pemerintahan, kesenian dan lain sebagainya, baik yang sudah maupun yang belum bersentuhan dengan barat modern.
Dalam kaitan ini, Syaikh Nawawi al-Bantani yang lebih di kenal dengan Imam Nawawi, dapat dikategorikan sebagai seorang ulama yang paling pantas memperoleh perhatian besar dalam usaha penggalian kembali warisan intelektual Islam Indonesia. Imam Nawawi al-bantani lahir di kampung Tanara Serang Banten pada tahun 1230 H/1815 M dan di makamkan di Ma’la. Nama lengkap beliau adalah Abû Abd al-Mu’fî Muhammad bin ‘Umar al- Tanâra al-Jâwî al-Bantanî. Ulama yang menjadi gurunya diantaranya, Syaikh Khatib Sambas, Syaikh Abd al-Gani Bima, keduanya dari Indonesia. Imam Nawawi juga belajar kepada Syaikh Ahmad Dimyati, pengajar di Masjidil Haram. Guru yang sangat berpengaruh adalah yang dari mesir, yaitu Syaikh Yusuf Sumbulawainiy dan Syaikh Ahmad al-Nahrawiy, di samping Syaikh ‘Abd al-Hamid al-Dagistaniy yang ia ikuti pelajarannya sampai wafat. Sedangkan di Madinah, ia belajar kepada Syaikh Khatib Duna al-Habali, kemudian melanjutkan ke Mesir dan Syiria untuk belajar kepada para ulama yang ada disana. Dengan bimbingan para ulama di Makkah, Madinah serta rihlah Ilmiyyah¬-nya ke Mesir dan Syiria inilah, ia memiliki pembendaharaaan ilmu pengetahuan keagamaan yang memadai untuk menjadi pengajar di lingkungan Masjidil Haram.
Imam Nawawi adalah sosok yang cerdas, arif, kreatif dan sangat produktif. Karya-karyanya meliputi berbagai bidang keilmuan, teologi, fikih, tasawuf dan tafsir. Semua karangan Imam Nawawi mepergunakan Bahasa Arab sebagai Bahasa pengantarnya, sehingga pada waktu itu dapat dicetak di Mesir dan Makkah, kemudian beredar di dunia Islam, terutama di negara-negara yang menganut mazhab Syafi’i. Sedangkan jumlah kitab yang menjadi karyanya, para peneliti memberikan kesimpulan yang berbeda. C Snouck Hurgronje menyebutkan kurang lebih 20 buah, Zamakhasyari Dhofier menyebutkan, berdasarkan penelitian Sarkis, sebanyak 38 buah, Sirajuddin Abbas berjumlah 34 buah, , sedangkan menurut Rafi’uddin Ramli dan Muhammad Fakhri karya tulis Imam Nawawi mencapai 46 buah. Sehingga Imam Nawawi di beri gelar al-Imâm al-Muhaqqiq wa al-Fahhâmah al-Mudaqqiq, atau Sayyid ‘Ulamâ al-Hijâz, ia termasuk ulama besar abad XIV H/XIX M, fuqahâ’ dan hukamâ’ muta’akhkhirin, dan maha guru pada Nasyr al-Ma’ârif Dîniyyah di Makkah.
Syariat, Tarekat, Hakikat, Maqâmat dan al-Ahwâl
Syariat dalam pandangan Syaikh Nawawi adalah menjalankan segala perintah Allah dan meninggalkan segala hal yang menjadi larangan-Nya. Dalam menjalankan syariat al-Qur’an dan as-sunnah adalah landasan utama yang harus dipegang teguh. Adapun ilmu syariat adalah ilmu Fikih. Sedangkan Tarekat menurut Syaikh Nawawi pendalaman pelaksanaan syariat dengan mengikuti sunnah-sunnah Nabi dan mengamalkannya dalam kehidupan serta menghiasi diri dengan akhlak yang mulia. Bentuk implementasi dari tarekat adalah riyadhah (latihan batin/spiritual), seperti meminimalisir jumlah makan, minum dan tidur, menghindari berlebihan dalam perkara yang mubah, serta memaksimalkan pelaksanaan ibadah sunnah dan dzikir. Apabila seseorang telah mengimplementasikan ajaran syariat dan tarekat dengan benar dan penuh kesungguhan, maka ia akan sampai pada Hakikat.
Menurut Syaikh Nawawi, Hakikat merupakan buah dari implementasi Tarekat. Seseorang yang sampai pada tingkatan Hakikat akan mampu memahami secara mendalam makna dari segala sesuatu, seperti menyingkap rahasia-rahasia al-Qur’an, rahasia-rahasia Pencipta dan ciptaan-Nya, dan mengetauhi ilmu gaib yang hanya diperoleh langsung dari Allah atau yang biasa disebut ilmu Ladunni. Tidak boleh ada kesenjangan antara Syariat, Tarekat dan Hakikat. Beliau mengibaratkan Syariat laksana seperti perahu, Tarekat umpama lautan dan Hakikat adalah mutiara yang tersembunyi. Jika seseorang hendak mencari mutiara, maka ia harus mengendarai perahu terlebih dahulu. Kemudian ia harus menyelam ke dalam lautan, sehingga ia mampu mendapatkan mutiara yang diinginkan.
Dalam persepsi Syaikh Nawawi al-Bantani, antara ketiga hal tersebut ada keterkaitan yang erat sekali. Bagi setiap muslim yang sudah mukalaf (yang pantas dibebani hukum), dalam melakukan ibadah kepada Allah semestinya tidak hanya menitikberatkan dari segi syariah saja, tetapi juga menekankan segi tarekat dan hakikatnya. Oleh karena itu, implikasi dari ibadah itu ada tiga hal, yaitu: manusia harus mengerjakan ibadahnya sesuai yang telah ditentukan oleh syariat, dan ia harus mengerjakan seperti yang pertama dan harus dengan mukasyafah (tesingkapnya dinding pembatas antara Tuhan dan manusia melalui perjuangan rohani), disamping itu mereka juga harus dengan murâqabah (yakin sepenuh hati, bahwa Allah selalu melihat dan mengawasinya).
Begitulah maka, jalan tarekat dan hakikat itu tidak akan berhasil dilalui oleh setiap orang Islam tanpa terlebih dahulu ia melewati jalan syariat. Oleh karena itu, wajib bagi setiap orang Islam untuk menghiasi anggota-anggota tubuhnya dengan menjalani syariat secara sungguh-sungguh, supaya hati menjadi bercahaya, mampu menduduki tempat yang tinggi lagi mulia, dan akhirnya ia mampu masuk ke dalam pintu-pintu mujahadah. Sesungguhnya, apabila seorang muslim telah mampu menjalankan syariat yang berat-berat dengan perasaan yang ringan dan mudah, maka artinya hatinya telah menjadi bersih, sehingga—bisa dikatakan—ia telah sampai ke jalan hakikat dengan derajat seorang wali. Mengenai hal ini, Syaikh Nawawi berkata:
“Akan tetapi, jika ia telah sampai derajat tersebut, bukan berarti ia bebas menjalani apa saja sekehendak hatinya tanpa menghiraukan lagi hukum-hukum syariat, dengan alasan ia telah sampai kepada hakikat. Apabila hal itu benar-benar ia jalani, maka ia berhak dicap sebagai golongan orang yang tersesat dan disesatkan. Bagaimanapun—tingginya hakikat dapat diraih seseorang—ajaran Islam tetap tidak bisa mentolelir terhadap orang yang tidak mau menjalani syariat, karena Nabi Muhammad SAW sendiri yang memiliki kedudukan spiritual tertinggi diantara seluruh Nabi dan Rasulpun dalam kenyataannya tidak pernah meninggalkan ibadah secara lahiriah kepada Allah SWT.
Senada dengan Syaikh Nawawi, Syeikh ‘Abdul Qadir ‘Isa al-Halaby menggambakan hubungan antara Syariat dan Hakikat sebagaimana jasad dan ruh. Ketiadaan penghayatan dan rasa diawasi oleh Allah dalam pengamalan suatu ibadah laksana jasad tidak memiliki ruh, tidak bersenyawa dan bersinergi. Seorang mukmin yang sempurna adalah yang menggabungkan antara Syariat dan Hakikat. Dari Syariat menuju Hakikat ada sebuah jalan (Tarekat) yang harus dilalui. Menurut al-Jurjaniy, yang disebut Tarekat adalah jalan khusus yang harus ditempuh para pencari Allah dengan cara meninggalkan kedudukan dan menempa diri dalam maqamat. Sementara Dr. Mustafa Zahri, memaknai Tarekat adalah suatu system dalam rangka latihan jiwa, membersihkan diri dari segala sifat terceladan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji dan memperbanyak dzikir dengan penuh keikhlasan semata-mata untuk mengenal dan merasakan adanya Tuhan, hingga seseorang dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya.
Syaikh Nawawi adalah penganut tarekat Qodiriyah. Ia berkata: “Qodiriyah adalah tarekat saya”. Sedangkan kepada murid-muridnya, beliau hanya memberkan penjelasan tentang karya-karya ahli tasawuf, yang darinya unsur-unsur etika lebih dipentingkan daripada aspek-asoek tasawuf yang ghaib. Demikian pula Syaikh Nawawi tidak menganjurkan kepada mereka untuk memasuki kelompok tarekat atau menghalanginya. Secara garis besar ia menegaskan, bahwa tarekat yang benar ialah yang tetap berpegang teguh kepada syariat. Sebagaimana pernyataanya dalam menjawab polemik dengan Sayyid Usman seorang ulama keturunan Arab di Jawa yang menentang keras praktek tarekat—bahwa orang-orang yang mengambil tarekat, jika dalam perkataan dan perbuatan mereka benar, mufakat dengan syariat Nabi Muhammad SAW, sebagaimana ahli tasawuf yang benar, maka itu maqbul (diterima).
Dengan demikian dapat dimaknai bahwa Syariat merupakan asas, Tarekat sebagai perantara penghubung menuju hasil atau buah yang disebut Hakikat. Seseorang yang berpegang teguh pada Syariat, maka dia tengah berjalan pada Tarekat yang akan menuju Hakikat. Imam malik pernah berkata: “Barangsiapa yang bertasawuf (Tarekat) tetapi tidak mengamalkan fikih (Syariat) maka dia telah zindiq. Barangsiapa yang mengamalkan fiqih (Syariat) tapi tanpa bertasawuf (Tarekat) maka dia adalah fasiq. Dan barangsiapa yang mengamalkan keduanya, maka dia adalah telah berhakikat (menemukan kebenaran)”.
Imam Syaikh Abu Nasr al-Tusi mengungkapkan bahwa: apabila mengatakan, apa arti maqâmat (kedudukan)? Al-Tusi berkata: maknanya adalah kedudukan seorang hamba yang terdapat diantara kekuasaan Allah SWT. Yang mana terdapat di dalamnya ibadah-ibadah, mujahadah-mujahadah. Adapun maqâmât itu, misalnya: taubat, wara’, zuhud, fakir, sabra, ridha, tawakal dan lain sebagainya, sedangkan makna al-ahwâl adalah apa yang terjadi dalam hati atau keadaan pada hati itu sendiri yaitu berupa zikir-zikir. Imam al-Sahrûrdî menjelaskan tentang perbendaan antara al-maqâm dan al-hâl dalam kitabnya ‘Awarif al-Ma’arif, yaitu: “terdapat banyak kemiripan antara al-hâl dan al-maqâm, para ulama berbeda pendapat tentang hal ini, dan keduanya terdapat kemiripan, yang mana setiap kemiripan antar keduanya, masing-masing terjadi pada keduanya, yaitu pada al-hâl dan al-maqâm, maka manusia akan melihat sebagian dari sesuatu itu adalah hâl, yang lain juga akan melihat sebagian maqâm, dan kedua pendapat tersebut sahih”.
Dan mau tidak mau bagi yang menyebutnya secara jelas ada perbedaan diantara keduanya, lafaz dan ibarat atas keduanya juga terdapat perbedaan, maka al-hâl disebut hal untuk mengusahakannya dan al-maqâm untuk mempertegas keadannya, dan sesuatu itu dapat dilihat dengan melalui hâl lalu beralih ke maqâm, misalnya dalam batin seseorang ada ajakan untuk muhâsabah (intropeksi diri) lalu ajakan itu beralih menjadi berbagai sifat dalam diri seorang tesebut, lalu kembali beralih, maka seorang tidak dapat ber-muhâsabah, dan hal itu menjadi sifat yang nyata pada seseorang hingga tercapai perlindungan dari Allah SWT.
Sembilan Wasiat untuk menjadi Wali, Kekasih Allah dan Pendidikan Tasawuf
Bertasawuf pada dasarnya merupakan upaya yang dilakukan oleh setiap muslim yang berkeinginan kuat mendekati Tuhannya, dengan berbagai macam cara yang ditempuh sesuai dengan keyakinan, kemampuan, dan kapasitas keilmuan yang dimilikinya agar menjadi kekasih-Nya. Dalam ilmu Tasawuf, terdapat istilah maqamat yang berarti jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat kepada Allah. Adapun jumlah maqamat berbeda-beda pendapat, menurut Muhammad al-Kalabadzy ada sepuluh, yaitu taubah, zuhud, sabar, faqr (miskin), tawadlu’, taqwa, tawakkal, ridha, mahabbah (cinta), dan ma’rifah. Sedangkan menurut al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin mengatakan bahwa maqamat terdiri dari delapan perkara, yaitu taubah, sabar, faqr (miskin), zuhud, tawakkal, mahabbah (cinta), ma’rifah dan ridha. Sementara Syaikh Nawawi menjelaskan sembilan hal yang terurai sebagai berikut:
Tingkatan pertama adalah “taubat”. Menurut Imam al-Qusyairî: “Tingkatan pertama sâlikîn dan maqâm pertama dari maqâmât al-tâlibîn, dan hakikat taubat secara bahasa, yaitu: al-raja’a (kembali) dikatakan tâb (taubat) atau raja’a (kembali), maka secara istilah taubat adalah kembali terhadap apa yang tercela menurut syar’î kepada apa yang terpuji padanya. Syaikh Nawawi berkata dalam tafsirnya: “Bertaubatlah dengan sebaik-baiknya dikarenakan dosa-dosa mereka, yaitu dengan menyesali segala perbuatan yang lalu dengan tekad bulat untuk meninggalkan atau tidak melakukannya diwaktu yang akan datang, maka inilah yang dimaksud dengan hakikat taubat. Dan jika beristigfar hanya melalui secara lisan, tidak akan berpengaruh untuk menghapus dosa, akan tetapi wajib merealisasikan tujuan istigfar dengan sebenar-benarnya untuk menghapus segala dosa yang menyebabkan terputusnya hubungan dengan Allah SWT. Dari sini telah jelas bahwa hakikat taubat menurut Syaikh Nawawi tidak berbeda dengan apa yang disebutkan oleh para tokoh-tokoh ahli sufi, yaitu dengan menyesali segala perbuatan yang telah lalu, dan tidak akan mengulangi perbuatan tercela tersebut.
Syaikh Nawawi menegaskan bahwa menuju kekasih-Nya, seseorang seharusnya membersihkan diri dengan menyesali semua kesalahan dan kelalaian yang telah dilakukan, berusaha sekuat tenaga di setiap waktu yang dimilikinya untuk mnghindarkan diri dari perbuatan dosa dan bertekad untuk meninggalkan dosa selama hidup dan untuk mengulangi segala kesalahan, serta selalu membebaskan diri dari segala hak orang lain, seperti harta atau perjanjian.
Taubat berarti “kembali”, yakni kembali dari kemaksiatan kepada Allah SWT. Dengan penuh rasa penyesalan. Kembali yang dimaksud disini menurut Syaikh Nawawi adalah kembali dari suatu yang tercela di dalam ajaran syariat Islam kepada sesuatu tang terpuji, serta mengetauhi dan menyadari bahwa segala dosa maksiat itu dapat menjauhkan diri dari Allah SWT. Penyesalan manusia atas segala dosa yang pernah diperbuat dan berazam tidak akan mengulanginya lagi, jika kedua hal tersebut dilakukan secara konsekuen maka dengan kasih sayang-Nya, Allah SWT akan menerima taubat mereka.
Syaikh Nawawi menerangkan kondisi orang yang diterima taubatnya oleh Allah SWT dengan menjanjikan dua hal, yaitu: pertama, dosanya akan diampuni oleh Allah SWT, sehingga tidak ada dosa yang melekat pada dirinya kecuali janji Allah SWT di akhirat, yakni mendapat derajat yang mulia di sisi Allah SWT, dan di akhirat nantinya akan di masukkan ke dalam surga sebagai ganjaran atas menangnya perjuangan diri sendiri dalam usaha membebaskan dari belenggu hawa nafsu dan bujuk rayu setan. Sebaliknya orang yang tidak melakukan taubat, menurut Syekh Nawawi akan mendapatkan balasan dari Allah SWT, yaitu: pertama, orang-orang yang selama hidupnya berlumuran dengan dosa dan maksiat, jika ia tidak bertaubat maka akhir hidupnya dalam konsisi yang sangat menyedihkan sekali, yaitu meninggal dunia dalam keadaan tidak beriman, sebagaimana yang dialami Fir’aun bersama bala tentaranya yang ditenggelamkan Allah di laut Merah, ketika mengejar Nabi Musa bersama pengikutnya; sebagai janji Allah di akhirat, balasan mereka akan di masukkan ke dalam neraka siksaan yang pedih, sebagai balasan atas mereka selama hidupnya di dunia hanya memperturutkan kehendak hawa nafsu. Proses bertaubat itu sendiri mempersyaratkan beberapa syarat yang mesti ditempuh manusia, yaitu: adanya rasa penyesalan yang mendalam, meninggalkan segala bentuk perbuatan buruk dan maksiat, mereformasi segala bentuk perbuatan buruk dan maksiat, mereformasi diri dengan beralih dari situasi yantuasi yang baik dan lebih buruk menuju ke situasi yang lebih baik.
Semua syarat taubat itu tidak dapat dilakukan manusia dengan baik dan benar, bila tidak disertai dengan ilmu yang telah dilakukan selama ini menjadi jurang pemisah yang sangat jauh antara manusia berdosa dan Allah SWT. Ilmu yang bermanfaat itu dalam pandangan Syaikh Nawawi adalah ilmu yang dapat menambah rasa takut kepada Allah SWT. Dan menambah pengetauhan terhadap keaiban diri, menambah pengetauhan tentang pengabdian terhadap Tuhan, mengurangi kegemaran terhadap dunia, menambah kegemaran terhadap akhirat, dan membuka pengetahuan terhadap perbuatan sia-sia, sehingga seorang dapat terpelihara dari maksiat.
Syaikh Nawawi mengungkapkan bahwa, sesungguhnya taubat yang dapat yaitu diterima, yaitu apabila dengan melakukan empat syarat, yaitu: pertama menjauhkan dari pengaruh untuk melakukan maksiat, kedua menyesali segala perbuatan yang telah lalu, ketiga bertekad bulat untuk meninggalkan maksiat selama-lamanya, keempat senantiasa memperbanyak amal ibadah kepada Allah SWT dengan konsisten melakukan ketiga syarat di atas. Jika taubat diwajibkan dalam Islam, maka wajib pula untuk menyesali segala dosan dan berkomitmen untuk meninggalkan dosa jika berbahaya pada waktu yang akan datang.
Pelajaran yang dapat diambil dari pelajaran taubat adalah bahwa orang yang menderita dapat mengungkapkan perasaan berdosa dan salahnya kepada Allah SWT. Serta memperbaiki kekeliruanyya. Karena orang yang melakukan taubat akan merasakan ketengan batin, merasa pengakuan dosa dan penyesalannya di dengar dan diterima Allah SWT, Serta memperoleh ampunan dan kasih sayang-Nya. Hal ini dapat dicapai apabila seseorang yang melakukan taubat kepada Allah SWT, dengan taubat nasûhah dan menjadikan taubat sebagai pengobatan. Setiap kali bertaubat, berarti setiap kali itu pula ia membina dirinya dengan kelezatan batin. Semakin sering orang bertaubat semakin bersih hatinya dari rasa berdosa, bersalah, kelalaian dan akan tenang dan tenteram jiwanya, serta semakin dekat dirinya dengan Allah SWT.
Tingkatan kedua adalah “qana’ah”. Belum cukup hanya menyesali dosanya, seseorang harus engan kerelaan hati menerima segala pemberian Allah dan rela meninggalkan perkara yang bukan prioritas, meski diperbolehkan dan tidak ddilarang oleh Syariat, tetapi jika tidak sangat penting tidak dilakukan. Sikap seperti ini disebut qana’ah, dan hanya mengupayakan perkara yang sifatnya prioritas dan berkaitan dengan kebutuhan akhirat, serta meninggalkan perkara yang hanya bersifat duniawi dan tidak menjadi kebutuhan akhirat.
Tingkatan ketiga adalah “zuhud”. Menurut Syaikh Nawawi yaitu mengosongkan hati dari keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang melebihi kadarnya dalam kebutuhan duniawi, menghindarkan hati dari sikap terlalu percaya kepada manusia, dan apabila kaya, maka ia harus ingat bahwa harta tersebut milik Allah dan hanya barang titipan yang sewaktu-waktu Ia ambil kembali. Oleh karenanya, harta tersebut harus dipergunakan sesuai dengan tuntunan syariah dan untuk kemaslahatan.
Tingkatan keempat adalah “mempelajari ilmu Syari’at”. Ilmu Syari’at yang dimaksud oleh Syaikh Nawawi, ada tiga macam yang wajib dipelajari, yaitu: pertama, Ilmu yang memperbaiki ketaatan kepada Allah seperti ilmu tentang wudhu, shalat, zakat, haji. Pengetauhan tentang ilmu-ilmu ini terdapat dalam lingkupan ilmu fiqih. Kedua, Ilmu yang dapat memperbaiki akidah, keimanan, sehingga terhindar dari perilaku yang menyimpang, dan ilmu tersebut mampu menghilangkan keraguan di hati. Ilmu tersebut berupa ilmu Aqidah atau Tauhid. Ketiga, Ilmu yang dapagt membersihkan hati dari akhlak dan perilaku yang buruk, seperti sombong, dengki, riya’ dan penyakit hati lainnya. Ilmu tersebut yaitu ilmu Tasawuf.
Tingkatan kelima adalah “melaksanakan perkara-perkara sunnah”. Maksudnya adalah dengan senantiasa melaksanakan amalan-amalan sunnah dalam ibadah seperti sholat rawatib, puasa dan amalan sunnah berupa budi pekerti luhur. Budi pekerti atau adab terbagi menjadi empat, yaitu: Adab Syar’i, maksudnya adalah menjalankan setiap perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Adab Thabi’i (karakter), seperti sifat dermawan dan pemberani. Adab Kasbi (diperoleh dengan usaha), seperti memahami ilmu nahwu, bahasa, dan ilmu-ilmu terapan. Adab Sufi (budi pekerti yang berdasarkan Tasawuf), yaitu menjaga panca indera dan menjaga perilaku di setiap hembusan nafas.
Tingkatan keenam adalah “tawakal”. Tawakal bukan berarti hanya berdiam diri tanpa usaha, namun usaha (kasb) merupkan bentuk tawakal. Tawakal adalah sikap berserah diri kepada Allah dalam segala hal, dan tidak berkeinginan untuk memiliki lebih dari kadar yang sudah ditentukan, setelah melakukan berbagai upaya yang dilakukan secara maksimal.
Tingkatan ketujuh adalah “ikhlas”. Ikhlas adalah keinginan untuk taat kepada Allah dengan mendekatkan diri kepada-Nya. Dengan menafikan segala sesuatu yang tercipta dari tangan manusia, yaitu menghindari sifat pujian manusia, atau dengan makna yang selaras, yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sebagian ulama sufi tidak melihat keikhlasannya dan tidak bersamanya, olehnya itu Imam Abu Ya’qub al-Susi: “Ketika ikhlas itu menyaksikan dalam keikhlasan mereka butuh keikhlasan mereka ke dalam ikhlas”. Dan Imam al-Junaid Ikhlas merupakan upaya membersihkan amal perbuatan dari sifat ‘ujub (membanggakan diri). Ikhlas terwujud ketika seseorang melakukan semua aktivitasnya hanya diniatkan beribadah kepada Allah tanpa menyekutukannya dan selalu mengedepankan istiqomah dalam beribadah.
Tingkatan kedelapan “uzlah”. Uzlah adalah menjauh atau menghindari berkumpul dengan manusia. Hal ini dilakukan agar terhindar dari keburukan dan pengaruh buruk yang mungkin terdapat pada mereka. Namun, jika berkumpul dengan orang-orang yang baik dan shaleh, maka hal tersebut sangat dianjurkan, karena berharap mendapatkan kebaikan dan pengaruh yang baik dari mereka.
Tingkatan kesembilan adalah “memanfaatkan waktu sebaik mungkin”. Waktu merupakan hal yang sangat berharga dan harus dimanfaatkan sebaik mungkin, serta dibagi dengan sebaik mungkin untuk melaksanakan berbagai ibadah dan berbuat kebaikan seperti mencari ilmu dan menolong sesame makhluk. Menyia-nyiakan waktu yang ada atau menggunakan waktu untuk perbuatan tercela adalah sebuah kerugian besar.
Meskipun pada sembilan wasiat yang Syaikh Nawawi paparkan terdapat beberapa yang berbeda dengan maqamat dua tokoh Tasawuf di atas, namun kesemuanya menggambarkan tujuan yang sama menuju ma’rifat Allah. Semua merupakan deretan panjang yang harus dilalui agar dekat dan menjadi bagian dari kekasih Allah, dan tentu saja semuanya tidak satupun yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Ada atsar sahabat yang menjelaskan delapan tanda orang ma’rifat, yaitu: Hati yang diliputi rasa takut (khauf) kepada Allah, Hati yang diliputi rasa (raja’) kepada Allah. Lisan yang tak pernah luput dari kata berterima kasih kepada Allah (syukur) atas segala nikmat Allah. Lisan yang selalu menyanjung dan memuji Allah (tsana’) dalam segala situasi. Mata yang selalu menyimpan rasa malu (haya’) terhadap Allah. Mata yang selalu menangis (buka’) karena mengingat Allah. Meninggalkan keinginan untuk menikmati indahnya dunia (zuhud). Memiliki keinginan untuk hanya mendapat keridhoan Allah.
Syaikh Nawawi dalam kitabnya, Qami’ al-Tughyan Syarh ‘ala Manzhumah Syu’ab al-Iman, menjelaskan bahwa diantara tujuh puluh tujuh cabang ajaran tentang Iman yang harus diketauhi dan diamalkan adalah tentang akhlak seseorang yang dekat dengan Tuhannya. Dalam Islam ada perintah untuk mencari ilmu (peserta didik) dan menyebarkannya kepada seluruh manusia (pendidik). Syaikh Nawawi menjelaskan bahwa terdapat dua metode untuk memperoleh ilmu, yaitu dengan metode kasbi (usaha) dan sima’i (mendengar). Maksud dari metode kasbi adalah memperoleh ilmu dengan cara istiqomah dalam belajar sendiri dan mengaji kepada ustadz. Adapaun metode sima’I adalah belajar kepada guru dengan cara mendengarkan setiap penjelasannya, baik tentang ilmu agama atau ilmu dunia. Seseorang yang ingin memperoleh ilmu, maka ia harus mencintai ulama’ atau guru dan tidak pernah menjauh dari mereka, sebab merekalah yang memberikan ilmunya kepada setiap manusia.
Dalam mencari ilmu, seseorang harus memliki beberapa niat, yaitu untuk mencari keridhoan Allah semata, untuk menuju akhirat, menghilangkan kebodohan, menghidupkan syariat Islam serta bersyukur atas akal yang dimiliki dan kesehatan badan. Seseorang tidak diperbolehkan mencari ilmu dengan niat yang tidak baik seperti agar diterima atau disanjung masyarakat dan hanya untuk mendapatkan harta duniawi atau kedudukan saja. Ketika telah memperoleh ilmu, meskipun ilmu yang didapat hanya satu kata atau sub bab saja, seseorang diharuskan untuk menyebarkan ilmu tersebut kepada orang lain. Jika tidak, maka ia telah berbuat dosa karena membiarkan kebodohan merajalela.
Syaikh Nawawi juga menjelaskan bahwa seorang yang benar-benar alim memiliki tiga ciri, yaitu tidak mencari harta dunia dengan sebab ilmu yang dimiliki, tujuan kesibukannya dengan ilmu adalah untuk mendapatkan kebahagiaan ukhrawi, sehingga ia lebih sibuk terhadap ilmu yang bersifat batin dan cirri ketida yaitu ilmu yang dimiliki harus selalu bersandar pada ajaran Rasulullah. Adapun cirri-ciri seseorang yang menyebarkan ilmunya bukan hanya karena ingin mendapatkan nikmat dunia semata adalah: Perkataannya selalu sesuai dengan perbuatannya. Artinya, ia selalu menjadi pelaku awal atas ilmu yang diketauhi sebelum menyebarkan kepada orang lain. Menyebarkan ilmu sesuai dengan kadar kemampuannya dan hal tersebut merupakan wujud ketaatan kepada Allah serta menjauhi perdebatan yang tidak bermanfaat. Menhindari kemewahan dalam makanan, tempat tinggal, pakaian, serta kebutuhan dunia. Mengendalikan diri untuk tidak bergaul dengan para penguasa kecuali hanya untuk memberi nasehat atau untuk meredam kedholimannya dan untuk membantunya mendapatkan keridhoan Allah. Tidak tergesa-gesa dalam memberikan fatwa atau pendapat kecuali telah benar-benat memahami masalah yang terjadi. Lebih baik mengatakan “tidak tahu” terlebih dahulu dan mencari jawaban atau pendapat yang tepat dari pada menyesatkan orang lain karena pendapat atau jawaban yang salah.
Corak Tasawuf dalam Kitab Nashâih al-‘Ibâd
Kecenderungan pemikiran tasawuf Syaikh Nawawi al-Bantani (1815-1897 M) di dalam kitab Nashâih al-‘Ibâd, menyampaikan isi beberapa nasehat baik hadis Rasul maupun atsar perkataan para sahabat dan tabi’in yang beliau syarah atau jelaskan isi ajaran tasawuf. Pada Bâb ats-Tsanâ’î Hadis Rasulullah SAW yang berbunyi “Khaslatâni la syala afdhalu minhumâ: al-Îmânu billâhi wa an-Naf’u lilmuslimin” terjemah secara harfiah “dua macam sesuatu yang lebih afdhal daripada keduanya: pertama beriman kepada Allah SWT, kedua bermanfaat bagi setiap muslim lainnya”. Dalam penjelasan bermanfaat bagi setiap muslim yang lain, yaitu dengan tutur kata yang baik, dengan jabatan, harta maupun dengan badannya. Hadis ini mengandung aspek aqidah dan tasawuf akhlaki, karena beriman kepada Allah SWT merupakan bagian dari rukun iman yang utama yang harus diyakini sebagai seorang muslim, sedangkan bersikap dengan tutur kata yang santun serta mampu menggunakan jabatan dan harta untuk kemaslahatan orang banyak.
Perkataan sahabat ‘Utsman bin ‘Affan, “Hammu ad-Dunyâ zhulmatun fi al-Qalbi, wa hammu al-Âkhirati nûrun fi al-Qalbi”. Artinya: Duka cita dunia gelap di dalam hati dan duka cita akhirat cahaya di dalam hati. Penjelasan dari arti perkataan yang disampaikan oleh ‘Utsman bin ‘Affan, Syaikh Nawawi al-Bantani menyampaikan, bahwa duka cita dalam segala urusan yang berhubungan dengan dunia menjadikan gelap dalam dunia dan duka cita dalam segala urusan akhirat akan menjadi cahaya di dalam hati. Perkataan ‘Utsman bin ‘Affan ini mengandung nilai-nilai dari tasawuf amali dengan terminologi Zuhud. Zuhud merupakan maqam yang paling dominan dalam kehidupan para sufi, karena pada umumnya pola hidup mereka cenderung meninggalkan dunia.
Perkataan tabi’in yang disampaikan oleh A’masy, “Man kâna ra’su mâlihi at-Taqwâ kallati al-Alsunu ‘an washfi ribhi dînihi, wa man kâna ra’su mâlihi ad-Dunyâ kallati al-Alsunu ‘an washfi khusrâni dînihi”. Artinya: Barangsiapa yang modal hartanya taqwa maka lebih terasa lelah dari menceritakan keuntungan agamanya, dan barangsiapa modal hartanya untuk dunia terasa lelah dari menceritakan keuntungan kerugian agamanya. Maksud dari perkataan ini Syaikh Nawawi menyampaikan “Barangsiapa yang berpegang pada taqwa dengan menjungjung tinggi perintah Allah SWT dan menjauhi maksiat, dengan berasaskan setiap perbuatan sesuai dengan syariat baginya memperoleh kebaikan yang tidak terbatas, barangsiapa yang berpegang pada segala perbuatan yang bertentangan dengan syariat maka baginya banyak kesalahan yang melemahkan lidah dari menyebut yang demikian itu dengan jumlah kesalahan”. Perkataan Tabi’in yang disampaikan diatas dapat diketauhi mengndung nilai-nilai syari’at dan tasawuf akhlaki, yang mana setiap orang muslim lebih mengutamakan asas ikhlas dalam bertindak melaksanakan kegiatan sehari-hari.
Bâb ats-Tsulâsî
Hadits Rasulullah SAW yang berbunyi, “Man ashbaha wa huwa yasykû dhîqa al-Ma’âsyi fakaannamâ yasykû Rabbahu, wa man ashbaha li umûri ad-Dunyâ hazînan faqad ashbaha sâkhithan ‘allâhu, wa man tawâdha’a li ghaniyyin li ghinâhu faqod dzahaba tsulatsâ dînihi” . Artinya: barangsiapa di pagi hari, dia mengadu kesempitan kehidupan maka seakan-akan ia mengadu kepada Tuhannya, dan barang siapa di pagi hari untuk segala urusan dunia duka cita, maka sungguh ia dipagi hari marah kepada Allah, dan barang siapa merendah diri kepada orang kaya karena kekayaannya, maka ia sungguh hilang sepertiga agamanya.
Maksud dari isi hadits di atas, Syaikh Nawawi menjelaskan di waktu pagi ia sudah mengadu kepada manusia tentang kesempitan hidup, sedangkan mengadu kepada manusia, sama dengan tidak ridha dengan pemberian Allah, sedangkan di pagi hari ia bersedih dengan urusan dunia, maka sungguh ia marah kepada Allah dan tidak ridha dengan ketentuan Allah, sedangkan merendahkan diri kepada orang kaya karena kekayaannya, menurut Syaikh Nawawi kalua dipandang secara syari’at memuliakan manusia karena kesalehan dan ilmunya. Dilihat dari penjelasan Syaikh Nawawi mengenai hadis diatas, mengandung nilai-nilai dari tasawuf amali, karena ajaran tersebut sama dengan maqam ridha. Ridha adalah tidak terguncangnyaa hati seseorang ketika menghadapi musibah dan mampu menghadapi manifestasi takdir dengan hati yang tenang.
Perkataan sahabat ‘Ustman bin ‘Affan, “Man taraka ad-Dunyâ ahabbahullahu ta’alâ wa man taraka adz-dzunûba ahabbahu al-Malâikatu wa man hasama ath-Thama’a ‘ani al-Muslimîna ahabbahu al-Muslimûn”. Artinya: barangsiapa yang meninggalkan dunia niscaya Allah akan mencintai dia, dan barangsiapa meninggalkan dosa-dosa niscaya Malaikat akan mencintai dia, dan barangsiapa memutus ketamakan dari setiap muslim niscaya setiap orang muslim akan mencintainya. Maksud perkataan sahabat ini barangsiapa meninggalkan dunia dengan sedikit kenyang, makan dan tidak suka pujian dari manusia, niscaya Allah mencintainya dengan meninggalkan riya’ dan kemegahan, dan meninggalkan segala dosa maka ia akan dicintai para malaikat karena tidak lelah mencatat keburukan, kemudian barangsiapa memutus sifat tamak dari setiap muslim maka ia akan dicintai kaum muslimin yang lain karena tidak kotor hati mereka. Hal semacam ini mengandung nilai dari tasawuf amali karena pernyataan seperti meninggalkan dunia niscaya Allah mencintainya ini menempati maqam Zuhud.
Perkataan tabi’in Hasan Basri ra. “Man lâ adaba lahu lâ ‘ilma lahu wa man lâ shabra lahu lâ dîna lahu wa man lâ wara’a lahu lâ zulfâ lahu”. Artinya: barangsiapa tidak mempunyai adab (budi pekerti) maka ia tidak mempunyai ilmu, barangsiapa yang tidak sabar maka ia tidak mempunyai agama baginya, dan barangsiapa yang tidak wara’ baginya tidak ada derajat baginya. Maksud perkataan ini barangsiapa yang tidak mempunyai adab di sisi Allah dan makhluk, maka ia dihitung termasuk orang yang tidak mempunyai ilmu, barangsiapa yang tidak sabar atas memikul segala ujian dan disakiti oleh makhluk, meninggalkan segala macam maksiat dan melaksanakan segala perintah,maka ia dihitung termasuk orang yang tidak mempunyai agama, dan barangsiapa yang tidak wara’ dari melakukan hal yang diharamkan dan subhat, maka ia tidak mempunyai martabat dan tidak dekat dengan Allah SWT. Pernyataan tabi’in di atas menjelaskan tentang orang yang tidak beradab atau budi pekerti berarti ia dianggap tidak mempunyai ilmu yang mengandung tasawuf akhlaki, sedangkan orang yang tidak sabar ia dianggap tidak mempunyai agama, sedangkan tidak wara’ sama dengan tidak mempunyai derajat, pernyataan ini mengandung tasawuf amali dengan ajaran sabar dan wara’.
Pada Bâb ar-Rubâ’I Hadits Rasulullah SAW yang berbunyi, “’Alâmatu asy Syaqâwati arba’atum nisyânu adz-Dzunûbi al-Mâdhiyati wa hia ‘indallâhi ta’âlâ mahfûzhatun wa dzikru al-Hasanâti al-Mâdiyati walâ yadrî aqubilat am ruddat, wa nazharuhu ilâ man fawqahu fi ad-Dunyâ wa nazharuhu ilâ man dûnahu fi ad-Dîni. Yaqûlullâhu: arathuhu wa lam yuridnî fataraktuhu”. Artinya: tanda-tanda orang celaka ada empat, pertama melupakan dosa-dosa yang telah lalu dan dosa tersebut tetap tercatat disisi Allah SWT, kedua mengingat perbuatan baik yang telah ia lakukan dan tidak diketauhi apakah diterima atau ditolak, ketiga memandang kepada orang yang memiliki materi harta benda dunia, keempat memandang orang yang lebih sedikit dalam masalah urusan agama.
Maksud hadits di atas, Syaikh Nawawi menjelaskan bahwa tanda orang yang celaka dari melupakan dosa yang telah lalu dengan tanpa adanya rasa penyesalan padahal sesungguhnya dosa yang telah dilakukan masih belum terhapus bilangan dosanya, waktunya dan tempat melakukannya, menyebut-nyebut kebaikan yang telah lalu yaitu dengan hati dan tidak diketauhi apakah diterima kebaikannya atau ditolak. Memandang orang yang lebih dari mata benda dunia, sehingga pandangannya menimbulkan perasaan tidak ridha dengan pemberian Allah, dan pandangan kepada orang yang lebih kurang dengan masalah berbuat amal shaleh dan tidka bersyukur kepada Allah atas nikmat amal ibadah dirinya. Allah berfirman: aku menginginkan dia menghindari dunia dan akau menolong dia atas berbuat taat dan dia tidak mendengarkanku dengan ridha dan syukur, maka aku meninggalkan pertolongan kepadanya. Pernyataan diatas mengandung tasawuf akhlaki karena komentar diatas dalam berbuat sesuatu harus ikhlas, tidak mengagumi orang karna materi duniawi dan tidak melihat orang karena sedikit dalam masalah urusan agama.
Perkataan sahabat Umar bin Khaththab, “lautan itu ada empat, yaitu: Hawa nafsu lautan dosa, nafsu lautan syahwat, kematian lautan bangunan dan kubur lautan penyesalan”. Maksud perkataan lautan itu ada empat macam, hawa nafsu lautan dosa cenderungnya nafsu kepada syahwatnya dengan melanggar hukum syara, nafsu lautan syahwat yaitu nafsu amarah yang cenderung tabiat badanya memerintahkan dengen kelezatan yang terkumpul dari gerakan-gerakan nafsu yang merupakan tempat kejelekan dan sumber akhlak tercela, kematian lautan bangunan yaitu lautan amal dan kuburan lautan penyesalan yakni alam Barzakh perantaraan alam dunia dan akhirat, terkumpul berbagai macam huru-hara. Berharap penghuni kubur tersebut agar tidak terjadi. Ungkapan diatas mengandung nilai tasawuf akhlaki, karena ajaran yang dimaksud dorongan untuk menahan segala hawa nafsu dar melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syari’at.
Politik
Para ulama Banten dengan semangat jihad, semangat anti kafir menjadi motor penggerak dalam berbagai gerakan sosial yang marak pada abad ke-19 M. banten dianggap sebagai salah satu pusat pemberontakan berbahaya, karena paling dekat dengan pusat pemerintahan Hindia-Belanda di Batavia (sekarang Jakarta). Bahkan dalam penelitian Kartodirjo tidak ada satupun wilayah di Bantenyang sepi dari perlawanan rakyat menentang penjajah. Sumber sasaran bukan hanya pemerintah kolonial saja, akan tetapi juga pejabat pribumi yang dianggao sebagai kaki tangan Belanda. Tidak heran dalam abad ini di Banten frekuensi pemberontakan semakin meningkat, puncaknya adalah peristiwa geger cilegon yang dikoordinir oleh KH. Wasid, KH. Tubagus Ismail dan ulama-ulama lainnya. Pada 9 Juli 1888 M, KH. Wasid dan anak buahnya mengadakan pemberontakan memasuki kota Cilegon dari dua arah. Dari selatan dipimpin oleh KH. Tubagus Ismail, sedangkan dari utara dipimpin langsung oleh KH. Wasid. Setelah berhasil membunug para pejabat daerah Belanda dan pejabat pribumi yang dianggap sebagai anteknya, maka KH. Wasid memproklamirkan dirinya sebagai Sultan Banten dan Tubagus Ismail sebagai panglima kesultanan. Meskipun pada akhirnya tanggal 01 Agustus 1888 M, pemberontakan ini dapat segera diredam dengan tewasnya kedua pimpinan pemberontak itu, namun tekad rakyat Banten untuk terus melanjutkan perjuangan dan pemberontakan melawan colonial tidak pernah hilang. Bahkan di malam Idul Fitri pada 1889 M, pemberontakan serupa hamper terjadi jika tidak segera tercium oleh pemerintah kolonial.
Geger Cilegon diyakini oleh semua pihak yang ikut terlibat dianggap sebagai bentuk jihad fi sabilillah, memunculkan beragam tanggapan dari sebagian ulama, salah satunya Sayid Usman bin Yahya, mufti Betawi. Dalam karyanya Minhajul Istiqamah ia mengatakan, kerusuhan di Cilegon tidak termasuk jihad, bahkan melanggar agama karena selain membahayakan diri sendiri, juga membuat efek negatif kepada yang lain. Sayid Usman menganggap belum terdapat syarat untuk melakukan perang sabil melawan kolonial Belanda. Fatwa ini bisa lebih difahami dari pernyataan surat Snouck Hurgronje, yang dikirim kepada Gubernur Jendral Hindia-Belanda, ia melukiskan penderitaan rakyat Banten:
Ketika itu pun dengan kuat saya merasa bahwa kekerasan yang tidak pantas, yang digunakan oleh kaum militer dalam menangani dan sering menganiaya semua pihak tanpa perbedaan sesudah huru-hara Cilegon di Banten, dapat dianggap sebagai akibat yang biasa dari pemberontakan, dan lambat laun akan terlupakan. Lebih lanjut ia mengakatan: Kini daerah Banten masih berada dalam kurun zaman kegugupan dan ketakutan yang dimulai sesudah pemadaman huru-hara di Cilegon.
Selain Sayid Usman, ternyata Syaikh Nawawi ulama asal Banten yang paling dihormati mengemukakan pendapatnya, sebagaimana disampaikan Snouck Hurgronje dalam dokumentasi surat-menyuratnya, dia mengatakan:
Saya dijamin bahwa ia bahkan telah memberi pernyataan atas permintaan yang diterimanya dari Banten, bahwa orang-orang Banten yang tewas dalam pertempuran baru-baru ini, oleh syariat suci sama sekali tidak boleh dianggap sebagai syuhada. Sebaliknya mereka dianggap sebagai oknum-oknum yang telah membinasakan diri. Namun bagaimanapun Nawawi itu terlalu bijaksana untuk sedikit mencampuri gerakan-gerakan seperti di Cilegon. Lagu pula ia terlalu bersifat ulama ortodoks untuk membenarkan kejadian-kejadian seperti di Cilegon.
Sikap Syaikh Nawawi yang tidak membenarkan Gege Cilegon tentu tidak menyurutkan rakyat Banten untuk melanjutkan aksi-aksi pemberontakannya. Mereka menganggap Syaikh Nawawi akan merestuo aksi-aksi mereka karena beberapa motor penggerak pemberontakan adalah orang-orang yang pernah belajar dengan Syaikh Nawawi. Seperti KH. Wasid, KH. Arsyad Thowil dan KH. Aryad Qasir. Bahkan disinyalir kebesaran nama Syaikh Nawawi ternyata dijadikan alat oleh para pemberontak Geger Cilegon dengan dihembuskan desas-desus kepulangannya ke Banten, bahkan demi menghasut kemarahan masa untuk kepentingan mobilisasi pemberontakan, ulama ini diisukan juga telah dibunuh atas perintah pemerintah Hindia-Belanda. Hal ini dapat ditemukan di dalam surat yang sama dari Hurgronje, ia mengatakan:
Berkenaan dengan ulama Nawawi dari Banten yang telah menetap di Makkah. Pemberitahuan seolah-seolah Syaikh tersebut dibunuh, saya ragukan dengan sangat kuat sekali. Sebab desas-desus fakta seperti itu akan cepat berjalan dari mulut ke mulut melalui daerah-daerah Mohammadan di Hindia-Belanda. Sementara itu, saya sendiri tidak berhasil untuk sekedar memancing pengetahuan tentang desas-desus itu, meskipun dengan berbagai macam pelacakan, bahkan pada orang-orang yang secara teratur mengadakan surat-menyurat dengan Nawawi… andaikan beberapa pemberontak telah menggunakan namanya yang dihormati dimana-mana untuk memamerkannya dan menggambarkan kedatangannya sebentar lagi ke banten, maka mereka telah berbuat begitu tanpa hak sedikitpun.
Ketidaksetujuan Syaikh Nawawi atas peristiwa Geger Cilegon, sebagaimana dikutip dari Hurgronje, tentu saja alasan utamanya adalah sebagai bentuk bunuh diri. Syarat utama yang paling menentukan untuk konfrontasi dalam jihad fi sabilillah menurut Syaikh Nawawi adalah al-Thaqah ‘Ala al-Qital, atau kesiapan memobilisasi perang, seperti tersedianya persenjataan atau perlengkapan perang lainnya. Jika tidak, maka statusnya sama dengan orang yang tidak memiliki tangan, karena secara substantive sama dalam ketidakmampuan membunuh musuh, bahkan sebaliknya menyerahkan diri untuk dibunuh musuh. Menurutnya, ketika kondisi tidak memungkinkan berkonfrontasi, maka solusi terbaik adalah berdamai dengan musuh.
Pada abad ke-19 M, dimana Syaikh Nawawi hidup sampai wafatnya secara umum Banten sudah dapat dikuasai dan dikontrol oleh pemerintah Hindia-Belanda. Eksistensi simbol kesultanan Banten yang merdeka tidak pernah kembali setelah pada tahun 1832 M, Muhammad Rafiuddin sultan terkahir yang naik tahta, diasingkan ke Surabaya sebagai hukuman karena dituduh berkomplot dengan bajak laut. Setelah itu, perlawanan dan pemberontakan terhadap colonial sering terjadi yang dipimpin oleh ulama, namun dengaan bekal persenjataan yang lebih lengkap dengan mudah pula pemerintaah colonial mampu memadamkannya, juga menangkap para pemimpin, bahkan rakyat yang tidak terlibatpun sering menjadi sasaran empuk senjata kolonial.
Sangat logis ketika Syaikh Nawawi yang hidup pada abad ini mengemukakan pendapatnyaa tentang salah satu syarat terpenting dalam aksi Jihad itu adalah tersedianya logistic persenjataan. Ketika yang satu ini tidak ada, kewajiban jihadpun gugur sama sekali. Meskipun konfrontasi tetap dipaksakan, maka tepa tapa yang diungkapkan Syaikh Nawawi bahwa itu adalah bunuh diri. Atau istilah lain dari Sayid Usman membahayakan diri sendiri dan orang lain, karena berakhir pada tindakan refresif membabi buta militer Belanda terhadap rakyat yang akan semakin menambah penderitaannya.
Pilihan yang paling mungkin ketika satu wilayah dikuasai sepenuhnya oleh musuh, sedangkan penduduknya sudah tidak mampu melakukan perlawanan berarti, maka tawaran paling baik menurut Nawawi adalah al-Istislam (berdamai), yaitu sikap kooperatif dengan pihak penguasa dengan cara; taat pada semua aturan selama itu masih dianggap legal oleh Syara’ yang diberlakukan pemerintah berkuasa (Ulil Amri). Tawaran ini mudah dipahami, karena menurutnya tujuan utama Jihad adalah ¬Li Iqamati al-Din, artinya terlaksananya kemudahan dalam mengamalkan ajaran agama. Jadi yang dilihat bukan siapa yang berkuasa, orang kafir atau muslim. Selama pengamalan ajaran agama tidak dipasung oleh pemerintah, meskipun orang kafir, maka rakyat tidak perlu melakukan jihad fi sabilillah.
Meskipun pada abad ke-19 M Banten benar-benar sepenuhnya berada dalan genggaman kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda yang Bergama Kristen, namun sejarah tidak banyak mencatat tentang terjadinya pemasungan dalam pengamalan agama. Bahkan jamaah haji dari Nusantara, setelah dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 M mencapai ribuan, meskipun selalu dalam pengawasan ketat kolonial, tetapi sebagian besarnya berasal dari koloni Banten. Kenyataan ini dikarenakan secara prinsip teori undang-undang belanda menerapkan sistem politik kebebasan menjalankan agama, meskipun reakitasnya penganut agama Kristen lebih banyak kemudahan dalam menikmati fasilitas dari pemerintah Hindia-Belanda, baik yang berbangsa Eropa maupun Bumi Putera.
Kesimpulan
Pemikiran tasawuf Syaikh Nawawi al-bantani menggambarkan sebuah keniscayaan bagi seorang muslim untuk mengintegrasikan syariat, tarekat dan hakikat. Syariat berarti menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, arekat menyelami lebih dalam atas syariat melalui aktifitas sunnah, amal baik, dzikir, riyadlah dan semua aktivitas lahiriah dan batiniah yang dapat mengantarkan seseorang menuju hakikat dirinya dan Tuhannya, Allah. Proses integrasi tersebut dapat terwujud melalui penanaman tujuh sifat dasar, antara lain: qana’ah (menerima apa yang ada) pandai bersyukur, mali, ikhlas, tawakkal, sederhana dan adil. Setelah tujuh sifat tersebut tertanam dalam pribadi seseorang, selanjutnyaa dilakukan pembiasaan sebelas sikap bertasawuf, yaitu: mengakui kesalahan dan berjanji tidak mengulanginya lagi, merasa takut kepada Allah dan selalu berharap rahmatnya, merasa mali jika tidak memenuhi kewajiban, bersedih bahkan menangis jika jauh dari Allah, merasa cukup dengan hidup sederhana meski harta berlimpah, berbagi dan berkorban untuk sesamanya, rajin beribadah wajib dan sunnah, serta berbuat baik kepada sesame, rela atas semua yang Allah gariskan dalam hidupnya, menjaga kesucian diri melalui wudhu, menyendiri dari pengaruh jelek dan berjamaah dengan orang-orang shalih, bersujud dan bedialog dengan Allah di tengah malam.
Syaikh Nawawi juga merupakan seorang ulama besar yang mempunyai peranan penting dalam perjuangan dan berbagai pergerakan baik dalam bidang keagamaan, maupun politik ditanah air. Dalam menghadapi kolonialisme Belanda sikap neliau cukup moderat, karena ia lebih mengutamakan pendekatan persuasive dan kooperatif dengan pemerintah Belanda dalam bentuk Istislam sebatas pada persoalan-persoalan yang tidak bertentangan dengan Syara’. Syaikh Nawawi ketika itu tidak memberikan instruksi jihad fi sabilillah selama rakyat masih bebas melaksanakan ajaran-ajaran agama, karena tujuan utama Jihad adalah li iqamati al-din. Namun, yang perlu dicermati dari sikap beliau dalam bentuk Istislam ini tidak lain karena secara keseluruhan Banten khususnya, dan Nusantara pada umumnya sudah berada dalam genggaman kekuasaan Belanda.
Daftar Pustaka
Noer, Deliar. 1982. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
Dhofier, Zamakhasyari. 1983. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES.
Ali, A. Mukti. 1971. Alam Pikiran Islam Modern di Indonesia. Yogyakarta: Nida.
al-Bantani, Muhammad Nawawi. t.t. Nihâyah al-Ziyân fi Irsdyâd al-Mubtadi’în. Bandung: al-Ma’arif.
Hurgronje, C Snouck. 1931. Mekka in the Letter Part of the Nineteenth Century, (Leiden: Brill, 1931),
Dhofier, Zamakhasyari. 1982. Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.
Abbas, Sirajuddin. 1975. Ulama Syafi’i dan Kitab-kitabnya dari Abad ke Abad. Jakarta: Pustaka Tarbiyah.
Ramli, Rafi’uddin, Muhammad Fakhri. 1399 H Sejarah Hidup dan Silsilah Kyai Muhammad Nawawi Tanara. Tangerang: Cirumpek-Keronjo.
Departemen Agama RI. 1987. Ensiklopedi Islam. Jakarta: CV Rafindo.
al-Bantani, Muhammad Nawawi. 2001. Salalim al-Fudhala Syarh Manzhumat Hidayah al-Azkiya’, (Surabaya: al-Haramain, 2001
al-Bantani, Muhammad Nawawi. t.t. Kâsyifah as-Sajâ’. Jakarta: al-Munawwir.
al-Bantani, Muhammad Nawawi. t.t. Salâlim al-Fudalâ. dalam: Dimyati. Kifâyah al-Atqiyâ’ wa Minhâj al-Asfiyâ’. Bandung: al-Ma’arif.
al-Halaby, Abdul Qadir ‘Isa. t.t. Haqa’iq ‘an al-Tashawwuf.
Rahimuddin, Abu Muhammad. 2009. Madkhal ila al-Tasawwuf al-Shahih al-Islami. Kairo: Ummu Qura,
Nata, Abuddin. 2006. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
al-Bantani, Muhammad Nawawi. t.t. Bahjah al-Wasail. Surabaya: Nur Asia.
Sirâj, Abû Nasr. 1960. al-Luma’. Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîs.
Hafs, Abu. t.t. ‘Awârif al-Ma’ârif.
al-Kalabadzi. t.t. al-Ta’aruf li Madzhab Ahl al-Tasawwuf. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
al-Qusyairî, Abu al-Qâsim. t.t. RIsalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilmi al-Tasawwuf.
al-Bantani, Muhammad Nawawi. t.t Tafsîr al-Munîr li Ma’alim al-Tanzîl. Jilid I.
al-Ghazali, Abu Hamid. 2005. Ihya’ Ulum ad-Din. Kairo: Dar al-Bayan al-‘Arabi.
al-Bantani, Muhammad Nawawi. 2010. Nashâih al-‘Ibâd. Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah.
Suryadilaga, M Alfatih. 2008. Miftahus Sufi. Yogyakarta: Teras.
Zaprulkhan. 2006. Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik. Jakarta: Raja Grafindo.
Michrob, Halwani. 1993. Catatan Masalalu Banten. cet III. Serang: Penerbit Saudara.
Lubis, Nina H. 2004. Banten Dalam Pergumulan Sejarah. Jakarta: LP3ES.
Steenbrink, Karel A. 1984. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 M. Jakarta: Bulan Bintang.
Gobee, E. 1995. Nasehat-nasehat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hinda Belanda 1889-1936 M. Jakarta: INIS XI.
al-Bantani, Muhammad Nawawi. t.t. Tawsikh ibn Qasim Qut al-Habib al-Gharib. Surabaya: Bengkul Indah.
al-Bantani, Muhammad Nawawi. t.t. Tawsyaikh ibn Qasim al-Ghuzzi.
Komentar
Posting Komentar